Skip to main content

Cerita 3 "isme"

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 23, 2010

Tiga orang penganut isme yang berbeda saling berdebat. Mereka terdiri dari seorang penganut atheisme yang juga sarjana astronomi, seorang penganut pragmatisme, dan seorang lagi tidak kedua-duanya, dia menyebut dirinya sebagai untungisme. Kebenaran adalah untung, yang benar adalah yang paling menghasilkan untung, paling tidak berpeluang menghasilkan untung.
Si atheisme ini dengan semangat menjelaskan begini : Adalah kebodohan untuk menyebut alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Ilmu fisika dan astronomi telah sanggup membuktikan bahwa tidak diperlukan kehadiran seorang pencipta, dengan segala bim salabimnya jadilah alam semesta. Astronomi mengamati bahwa alam semesta ini sedang mengembang, dan itu berarti pada suatu masa yang sangat lampau alam semesta pernah berada pada satu titik, singularitas.
Si pragmatisme mengerutkan kening, sementara si untungisme hanya pura-pura menyimak: Bukti yang kau maksudkan itu bahwa alam semesta mengembang, dan dengan demikian pernah berada pada satu titik, apa itu?
Si atheisme makin bersemangat : pergeseran merah, atau red shif. Telah diamati dengan sangat akurat, bahwa spektrum radiasi setiap galaksi selalu bergeser ke arah sinar merah. Arti fisisnya itu adalah bahwa galaksi tersebut menjauhi kita, dan semua galaksi begitu, saling menjauhi satu sama lain. Dan laju galaksi saling menjauhi telah dapat dihitung.
Si pragmatisme bertanya lagi, dan si untungisme tetap menyimak. Apakah itu dapat diartikan bahwa semua galaksi pernah berada pada satu titik?. Apakah tidak dapat diartikan bahwa pada masa dulu yang sangat lampau setiap galaksi saling mendekati, kemudian berpapasan, lalu saling menjauhi. Seperti dua kereta api yang melaju pada rel yang berbeda tapi bersisian, awalnya mereka saling mendekati, lalu kemudian saling menjauhi. Kebetulan kita hidup pada masa dimana galaksi saling menjauhi.
Si untungisme mengangguk-angguk, si atheisme menjawab dengan ganas. Tidak, sebab jika demikian tidak akan ada radiasi latar. Itu adalah radiasi yang sama di semua tempat dan di semua waktu di jagat raya ini. Kapanpun dan kemanapun detektormu diarahkan, radiasi ini selalu ada dan sama. Ini membuktikan bahwa radiasi ini tidak berasal dari satu sumber apapun di jagad raya ini, tetapi dia adalah sisa dari dentuman besar, saat dimana setiap galaksi terlontar dari satu titik, lalu saling menjauhi satu sama lain, itulah yang kita amati sekarang.
Si pragmatisme agak heran. Jadi hanya dengan pergeseran merah dan radiasi latar dapat kita simpulkan bahwa alam semesta bermula dari satu titik, meledak pada dentuman besar, lalu saling menjauhi?
Si atheisme mengangguk tanda puas dengan penjelasannya.
Kalau begitu aku tanya deh, lanjut si pragmatisme. Jika aku menggulirkan sebuah koin dari sini, sanggupkah kau memprediksi lintasan mana yang akan ditempuh koin, berapa kecepatan linier dan kecepatan sudut koin di setiap titik pada lintasannya, berapa sudut deklinasi dan inklinasi saat melintasi titik tertentu, energi rotasi dan energi liniernya, demikian momentumnya, dan berakhir di manakah lintasan koin?
Si atheisme makin semangat, peluang untuk pamer ilmu fisika dan astronominya muncul. Tentu saja dapat asalkan beberapa parameter diketahui. Seperti kecepatan linier dan kecepatan sudut awal, sudut deklinasi dan inklinasi awal, distribusi kerapatan koin, tiupan angin, koefisien gesek bidang lintasan terhadap koin, jari-jari koin dan momen inersianya, kemiringan bidang lintasan, distribusi medan grafitasi di tempat itu, bahkan suhu rata-rata di tempat itu karena dapat mempengaruhi diameter koin akibat pemuaian. Beritahukan saya parameter itu, saya akan jelaskan secara rinci titik demi titik lintasan koin, beserta seluruh besaran fisis yang terkait, dan titik dimana koin akan jatuh.
Si pragmatisme bingung. Jika hanya untuk menentukan lintasan koin saja dibutuhkan parameter sebegitu banyaknya, lalu mengapa untuk asal usul alam semesta dapat ditentukan cukup hanya dengan dua parameter saja?, pergeseran merah dan radiasi latar. Untuk koin yang lintasannya paling banter sejauh dua meter dan hanya beberapa detik memerlukan data yang begitu rumitnya, dan alam semesta yang jaraknya aduhai dan waktunya azaibullah cukup dengan dua parameter?. Aneh.
Si untungisme langsung menyambar kesempatan. Kalau aku tidak dapat memastikan ada atau tidak Tuhan itu, tapi lebih baik dan lebih untung bagiku kalau aku percaya Dia ada. Sebab jika nanti dia ternyata tidak ada, aku tidak rugi apa-apa, tapi jika nanti ternyata benar Dia ada, aku akan untung.
Referensi Makalah©
*Sumber: kompasiana.com
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar