Skip to main content

Dimensi Sintaktis dalam Semiotik

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 07, 2013

Dimensi sintaktis dalam semiotik berkaitan dengan studi mengenai tanda itu sendiri secara individual maupun kombinasinya (struktur dan kombinasi tanda). Khususnya analisis yang bersifat deskriptif mengenai tanda dan kombinasinya.
Secara etimologi, kata sintaksis berasal dari kata Yunani; sun dan tattein. Sun berarti dengan, sedangkan tattein berarti menempatkan. Dengan demikian, kata sintaksisi secara etimologis memiliki arti “menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata, atau kalimat. Sedangkan dilihat dari sisi ilmu bahasa, sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase.
Alex Sobur (2004), mencontohkan penggunaan dimensi sintaksis untuk manipulasi politik. “Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, itu juga dilakukan dengan manipulasi politik menggunakan sintaksis (kalimat),”. Seperti pemakaian atau penentuan kata ganti dalam susunan kalimat, aturan tata kata, pemakaian kalimat aktif dan pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang kompleks, dan sebagainya.
Pada level dimensi sintaksis dalam semiotik, kajian dipusatkan pada beberapa persoalan, yaitu; koherensi, nominalisasi, bentuk kalimat, proposisi-proposisi dalam satu rangkaian kalimat, serta kata ganti.
Wohl memaknai koherensi sebagai pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta dan ide menjadi suatu untaian yang lagis, sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya.
Sedangkan menurut Sobur, koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, proposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan memakai koherensi, sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika komunikator menghubungkannya.
Koherensi juga dapat ditemui dalam dalam bentuk hubungan sebab akibat, bisa juga sebagai penjelas. Koherensi ini secara mudah dapat diamati, di antaranya, dari kata hubung yang dipakai untuk menghubungkan fakta/proposisi. Kata hubung yang dipakai (dan, akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun) menyebabkan makna yang berlainan ketika hendak menghubungkan proposisi.
Dengan melakukan nominalisasi dapat memberi sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. Menurut Sobur, elemen yang hampir sama dengan nominalisasi adalah abstraksi, yaitu berhubungan dengan pertanyaan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal berdiri sendiri atau sebagai sesuatu kelompok (komunitas).
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berfikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Dimana ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan).
Bentuk kalimat bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif, seseorang menjadi objek dari pernyataannya.
Di antara yang diberi perhatian lebih dalam level sintaksis adalah bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat, dan mana yang di akhir kalimat. Penempatan itu dapat memengaruhi makna yang timbul, karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak.
Kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Adalah suatu gejala universal bahwa dalam berbahasa sebuah kata yang mengacu kepada manusia, benda, atau hal, tidak akan dipergunakan berulang kali dalam sebuah konteks yang sama.
Pengulangan kata yang sama tanpa suatu tujuan yang jelas akan menimbulkan rasa yang kurang enak. Pengulangan hanya diperkenankan kalau kata itu dipentingkan untuk mendapat penekanan. Dalam suatu pemberitaan tentang kejahatan, yang dilakukan oleh seorang yang bernama Black Jack, misalnya, akan terasa mengganggu apabila setiap kalimat beriktunya nama Blacak Jack diulang terus menerus. Untuk menghindari segi-segi yang negatif dari pengulangan itu, maka setiap bahasa di dunia ini memiliki cara dengan memakai kata ganti.
Kata ganti ini timbul untuk menghindari pengulangan kata tadi (yang disebut anteseden) dalam kalimat-kalimat berikutnya. Dalam analisis wacana, kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata.
Tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak, sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Yasraf Amir Piliang, Semiotika sebagai Metode dalam Penelitian Desain, dalam Christomy dan Untung Yuwono (Penyunting), (2004).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar