Skip to main content

Filsafat Kenabian Ibnu Sina

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 22, 2012

Kenabian menurut Ibnu Sina merupakan jiwa (roh) yang tinggi. Nabi merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya. Memiliki mukjizat yang bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, mengantar manusia untuk memahami sitem kebaikan.
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan tubuh.
Nabi memiliki kemampuan jiwa mendengar kalam ilahi, melihat malaikat-malaikat, demikian seluruh mahluk-mahluk. Nabi dengan jiwa kenabiannya berusaha mengantarkan species manusia agar manusia menjadi mahluk paling mulia.
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan: intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, untuk hal ini, Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi.
Menurut filsafat kenabian Ibnu Sina, daya pada akal materiil begitu besar, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah berhubungan dengan akal aktif dan menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi. Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah kemudian mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
al-Syahrastany, al-Milal wa al-Nihal, alih bahasa Asywadie Syukur Edisi Lengkap Surabaya: PT Bina Ilmu.1). Muhammad ‘Ali Aburoyan, Tarikhul Fikri al-Falsafi, (Darul Ma’rifah, Iskandar 1983). Syed Naquib al-Attas, Intuition of Existence, A Fundamental Basis of Islamic Metaphisics. (Kualalumpur : ISTAC.1990).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar