Skip to main content

Perbincangan tentang Kausalitas (1)

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 06, 2011

Hukum kausalitas berbunyi, "setiap akibat pasti membutuhkan sebab". Defenisi ini adalah badihi, jelas dan tak membutuhkan argumen. Ketika kita mempersepsi makna akibat, artinya bahwa suatu realitas eksistensi itu bergantung kepada wujud yang lain, maka kita dapat memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan kepada wujud yang lain, merupakan konsekuensi dan hakikat dari eksistensi akibat. Jadi, sebenarnya kita tak perlu argumen dalam membuktikan kebenaran prinsis kausalitas.
Pada prinsipnya, kausalitas telah muncul seumur dengan peradaban manusia. Bahkan, ia seusia dengan alam ini dan realitas eksistensi itu sendiri. Manusia yang berakal senantiasa mencari sebab-sebab dari setiap kejadian. Karena dengan mengetahui sebabnya, ia akan dapat memahami akar dan sumber akibat atau kejadian tersebut.
Di bawah ini, kami hadirkan beberapa ungkapan filosof terkemuka tentang defenisi kausalitas:

  1. Al-Farabi berkata, "Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersama dengan akibat"
  2. Ibnu Sina menyatakan, "Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan sesuatu yang lain. Dan akibat itu mesti aktual karena keaktualan sebabnya.
  3. Mulla Sadra menyatakan, "Sebab memiliki dua pengertian, pertama: sebab adalah wujud sesuatu yang memancarkan realitas eksistensi yang lain, dan ketiadaan sebab berefek pada ketiadaan realitas itu. Pengertian kedua: sebab adalah  wujud yang meniscayakan kebergantungan hakiki realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan sebabnya".
  4. Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, "Maksud sebab adalah sesuatu yang keberadaannya meniscayakan sesuatu yang lain dan  memustahilkan kejamakan sebab.
Konklusi dari semua defenisi di atas adalah bahwa sebab merupakan realitas wujud yang meniscayakan kebergantungan mutlak dan hakiki segala eksistensi eksternal lainnya.
Mari kita lihat contoh berikut: Secara empiris, api menimbulkan panas. Api disebut sebab, karena meniscayakan panas. Panas disebut akibat, karena bersumber dari api. Secara hakiki, api dan panas memiliki hubungan khusus. Hubungan khusus ini, dalam istilah filsafat, disebut kausalitas atau hubungan sebab akibat. Dengan kausalitas, manusia bisa menghubungkan antara satu realitas dengan realitas lain serta menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas tersebut. Tapi yang menjadi masalah, apakah yang menjadi penyebab panas hanyalah api?
Sebagian filosof Barat yang beraliran empiris seperti David Hume, menolak hubungan kausalitas itu. Mereka beranggapan bahwa yang bisa diempiriskan hanyalah api dan panas, bukan hubungan khusus yang bersifat kausalitas. Segala realitas yang mustahil ter-empiris-kan, tidak dikategorikan sebagai realitas yang berwujud. Ketika hubungan kausalitas itu mustahil ter->empiris-kan, maka ia tak berwujud. Lebih lanjut dia berkata, "segala pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal yang empiris. Jika terdapat "hubungan" antara satu realitas dengan realitas lain, hubungan ini hanya bersifat kebetulan, bukan karena adanya hubungan kausalitas. Karena "keberhubungan" (ta'âqub dan taqârun) dua realitas itu senantiasa terjadi.  Keberadaan api memunculkan panas, dengan itu, "hubungan kausalitas" antara kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran."
Jawaban atas kritik dan penolakan kausalitas tersebut sebagai berikut:
Dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas tidak ada kaitannya dengan penginderaan lahiriah. Tetapi berkaitan dengan persepsi akal yang dapat dibuktikan lewat pengkajian-pengkajian rasional. Kajian-kajian rasionalitas, tidak berangkat dari realitas empiris. Dalam contoh di atas, dimana api adalah sebab, dan panas adalah akibat, hanya dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman atas hukum kausalitas. Penentuan sebab dan akibat dalam contoh itu bukan wewenang filsafat. Filsafat hanya merumuskan kaidah dan hukum universal. Jadi sangat wajar, apabila terjadi kesalahan dalam penentuan subyek masalah. Kritik yang ditujukan ke subyek masalah dalam kajian filsafat tidak dibenarkan. Kritik semestinya dialamatkan kepada kajian filosofisnya. Kesalahan dalam penentuan, bukan berarti kekeliruan dalam kaidah universalnya.
Dalam ilmu logika, bahwa proposisi itu tersusun dari premis minor dan premis mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C. A dari B disebut premis minor dan B dari C disebut premis mayor. Jika prinsip kausalitas itu ditolak, maka mustahil ia akan melahirkan silogisme dari proposisi tersebut, yaitu A dari C. Menolak hokum kausalitas berarti ragu terhadap B dari A dan juga ragu bahwa B dari C, akhirnya mustahil menyimpulkan A dari C. Jadi, silogisme A dari C, adalah hasil dari adanya hubungan keniscayaan antara dua premis minor dan mayor. Hubungan keniscayaan itu disebut hubungan kausalitas atau hubungan sebab akibat.
Apabila David Hume konsisten atas argumentasinya, maka ia harus menolak konklusi atau silogisme dari argumen yang dibangunnya. Karena, dalam proposisi kedua premis minor dan mayor adalah sebab, dan silogisme adalah akibat. Jadi, dalam proposisi itu juga terdapat hubungan kausalitas.
Menolak hubungan kausalitas sama dengan menolak ilmu logika. Dan menolak ilmu logika, sama dengan menolak semua bentuk proposisi dan argumentasi, termasuk argumentasi penolakan hubungan kausalitas itu sendiri. Dan menolak argumentasi, sama dengan menolak keberadaan ilmu dan pengetahuan.
Dalam perspektif filosof Islam, prinsip dan hubungan kausalitas, bersifat universal dan tak terbatas pada alam tertentu, tetapi terterapkan pada semua alam, baik alam materi maupun alam non-materi.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar