Skip to main content

Mohammed Arkoun dan Konsep Islamologi Terapan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 09, 2011

Islam dalam sejarahnya pernah menjadi puncak peradaban di mana negara-negara yang ada pada waktu itu mengacu dan merujuk kepada peradaban Islam. Medinah yang pada awalnya menjadi ibukota umat Islam kemudian beralih ke Damsyik dan terakhir di Bagdad, menjadi sentral bagi negara-negara yang ada disekitarnya seperti Afrika Utara, Spanyol di Barat dan Persia termasuk India di bagian Timur.
Masa keemasan ini terjadi pada periode klasik (650-1250 M). Masa kemajuan yang diraih oleh umat Islam tersebut tetap diperpanjang pada zaman pertengahan (1250-1800) dengan lahirnya tiga kerajaan yang besar yaitu Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) Turki, Kerajaan Syafawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Abad modern (1800-sampai sekarang) yang merupakan abad dunia barat sekaligus abad degradasi umat Islam terutama dalam dunia pemikiran-telah mengundang perhatian besar bagi kalangan umat Islam serta memaksa lahirnya tokoh-tokoh pembaru sekaligus pemikir-pemikir yang merumuskan respon Islam terhadap modernitas. Di Mesir misalnya, Rifaah Rafii al-Tahtawi (1801-1873), disamping menyerukan kembali pentingnya ijtihad, juga menganjurkan para ulama agar mempelajari ilmu-ilmu modern yang pada gilirannya, penyesuaian syariat dengan kebutuhan modern dapat dilakukan.
Pendapat yang seirama datang dari Jamaluddin al-Afgani (1839-1897) yang juga ikut memberi komentar tentang kemunduran umat Islam. Menurutnya kemunduran umat Islam bukan karena Islam tidak sesuai dengan perubahan zaman akan tetapi umat Islam telah meninggalkan ajaran yang sebenarnya. Terkait dengan hal ini, maka ia menawarkan sebuah terapi yaitu semua pengertian-pengertian salah yang dianut umat Islam harus dieliminir dan kaum muslim harus kembali pada al-Quran dan hadis. Selanjutnya, Muhammad Abduh (1849-1905) yang juga tokoh dari Mesir, berpendapat bahwa kemunduran umat adalah konsekuensi dari paham jumud (beku, statis, tanpa ada perubahan) yang melanda hampir seluruh lapisan masyarakat Islam. Karena itu diagnosa yang ditawarkan Muhammad Abduh adalah semua ajaran-ajaran asli itu harus disesuaikan dengan realitas modernitas.
Dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer, kajian “pemikiran Islam” model Mohammed Arkoun mempunyai corak yang berbeda dengan corak pemikiran para pendahulunya. Telaah pemikiran Islam Arkoun tidak saja berbeda dengan corak telaah pemikiran orientalis, tetapi juga berbeda dengan telaah pemikiran Islam model Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, juga berbeda dengan gaya pemikiran Seyyed Hossein Nasr, yang materi pemikiran tasawuf dan filsafatnya sangat mencolok, dan lebih-lebih lagi bukan seperti pemikiran ke-Islaman model Ismail al-Faruqi dan Syeh Muhammad Naquib al-Attas, yang nuansa pemikiran Islamisasi pengetahuannya sangat kental.
Pada prinsipnya, gaya pemikiran yang dibawa oleh Arkoun dalam beberapa hal justru dekat kepada pemikiran Fazlur Rahman dengan Muhammad Iqbal dengan alur pemikiran keduanya yang sangatkritisterhadap warisan intelektual Islam. Kalau kedua-duanya menganjurkan adanya upaya rekonstruksi isi pemikiran Islam terutama dalam hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat dan ilmu-ilmu sosial, maka Arkoun lebih banyak menyentuh ”bangunan pemikiran” Islam secara menyeluruh, baik yang menyangkut pemikiran kalam, tasawuf, fiqhi, akhlak maupun tafsir.
Pendekatan baru yang ditawarkan oleh Arkoun yang melampaui batas studi Islam, didasari dengan adanya pemikiran Islam yang sama sekali tidak mengalami perubahan, dengan kata lain terjadi stagnasi dalam struktur pemikiran Islam, sementara tuntutan zaman sangatlah kompleks yang membawa hal-hal baru dalam setiap kurun waktu tertentu.
Pada dasarnya apa yang diinginkan Arkoun adalah pemaduan dari unsur yang paling mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran barat modern. Dalam konteks inilah konsep Arkoun tentang “Islamologi Terapan” tidak dapat dinafikan.
Islamologi terapan yang dicanangkan oleh Arkoun, sesungguhnya adalah konsekuensi dari “kevacuman” pemikiran Islam setelah masa pertengahan yang “nyaris tidak terdengar lagi”. Kekosongan dalam dinamika pemikiran Islam abad scholastik (pertengahan) tersebut berbuntut pada penerimaan produk pemikiran Islam sebagai harga mati, paten, tidak boleh dilirik, diteliti bahkan sampai pada pensejajaran pemikiran Islam sebagai doktrin agama yang tidak boleh diganggu gugat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Nasir Tamara, “Islamologi Terapan dan Mohammed Arkoun”, Ulumul Qur`an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol. I. Th. 1989/1410. Muhammad Arkoun, Rethinking Islam: Common Question and Uncommon Answers diterjemahkan oleh Yudian W. Amin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Mohammed Arkoun, Gagasan Tentang Wahyu, Dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab (Jakarta: INIS, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar