Skip to main content

Teori Batas dalam Ushul Fikih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 02, 2013

Teori Batas dalam Ushul Fikih Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria tahun 1938. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan dasar dan menengah sebelum ia pergi ke Moskow untuk belajar ilmu tehnik (Engineering) di Universitas hingga tahun 1964. Akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam al-Quran dalam pembacaan ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas (Nazariyyah al-Hudud).

Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan istiqamah. Kedua sifat ini selalu bertentangan tetapi saling melengkapi.

Berdasarkan sejumlah ayat, Syahrur menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis lurus, sedangkan istiqamah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hanifiyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiah manusia. Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus.

Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta.

Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum. Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan.

Garis lurus bukanlah sifat alam, ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat. Sesuai dengan pandangan terhadap alam ini, hukum kelengkungan atau hanifiah dilihat dari representasi dari sifat gerak tidak lurus. Begitu pula, kebiasaan, adat dan tradisi sosial cenderung hidup secara harmonis sesuai dengan tingkat kebutuhan dalam satu masyarakat.

Di lain pihak, kebutuhan-kebutuhan ini juga cenderung berbeda antara satu msyarakat dengan masyarakat lainnya, atau bahkan satu masyarakat itu sendiri. Demi mengontrol perubahan ini, kelurusan/istiqomah menjadi sangat dibutuhkan untuk menegakkan aturan hukum. Tidak seperti hanifiyyah, istiqomah bukanlah bagian dari hukum alam, tetapi ia lebih sebagai ketentuan tuhan, yang bersama-sama hanifiyyah untuk mengatur manusia.

Hubungan antara hanifiyyah dan istiqomah sepenuhnya dialektis, dimana ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan tersebut terjalin berkelindan. Dialektika ini sangat penting karena hal itu menunjukkan bahwa hukum itu dapat beradaptasi di setiap waktu dan tempat (sohih likulli zaman wa makan). Tetapi, apakah bentuk dari istiqomah yang diwahyukan Tuhan untuk melengkapi hanifiyyah? Di sini Syahrur memperluas inti persoalan dari teorinya, yang sering disebut dengan Theory of Limits atau teori batas-batas hukum (Nazariyatul Hudud).

Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas.

Pertama, ketentuan hukum yang memiliki batas bawah (had adna) ketika ia berdiri sendiri. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi, tepatnya dalam al-Quran Surat al-Nisa ayat 23. Menurut Syahrur, menikah dengan anggota keluarga yang termasuk katagori hubungan-hubungan darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat lain diluar anggota ikatan darah disebutkan dalam ayat tersebut.

Kedua, ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas (had a’la) yang berdiri sendiri. Ini terjadi pada tindak pidana pencurian. Contoh ini dapat ditemukan dalam (QS. al-Maidah: 38), ’Pencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka,’. Di sini, hukuman yang ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh dilampui.

Dalam kasus ini, hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Adalah tanggungjawab para hakim selaku mujtahid untuk menentukan pencuri bertipe apa yang perlu dipotong tangannya, dan tipe apa yang tidak, dalam kerangka rasa keadilan masyarakat, para mujtahid harus menentukan hukuman yang setaraf dengan kesalahan yang dilakukan tersebut.

Ketiga, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah ketika keduanya berhubungan. Seperti hukum waris dan poligami. Gambaran tipe ini disebutkan dalam ayat al-Quran (QS. an-Nisa: 11). Tujuan ayat ini menyatakan bahwa bagian laki-laki sebanding dengan dua perempuan, jika terdapat lebih dari dua anak perempuan, maka bagian mereka adalah 2/3 dari harta warisan. Dan jika hanya terdapat satu anak perempuan, maka bagian mereka adalah setengah.

Menurut Syahrur, sebuah penetapan batas maksimum untuk anak laki-laki dan batas minimum untuk anak perempuan. Terlepas dari apakah wanita telah pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak pernah dapat kurang dari 33,3 persen, sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai 66,6 persen dari harta warisan.

Jika wanita wanita diberi 40 persen dan laki-laki 60 persen, pembagian ini tidak dikatagorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap batas maksimum dan minimum. Alokasi presentasi bagi masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi obyektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Contoh ini menurut Syahrur, menjelaskan kebebasan bergerak (hanifiyyah) dalam batasan-batasan (istiqomah) yang ditentukan oleh hukum. Batasan-batasan itu ditentukan oleh msyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Syahrur, hukum tidak harus diperlakukan sebagai pemberlakukan teks-teks yang suduh diturunkan berabad-abad lalu di dunia modern.

Keempat, ketentuan hukum yang mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih dan kurang. ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid yang tertera dalam al-Quran surat al-Nur ayat: 2. Di sini, batasan maksimum dan minimum berpadu pada satu bentuk hukuman, yakni berupa seratus deraan.

Allah menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya ditimpakan. Hukuman bagi pezina adalah tidak boleh kurang atau leih dari seratus deraan.

Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh. Karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan tuhan hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Keenam, ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas terjadi pada riba dan batas bawah adalah pinjaman tanpa bunga (al-qard al-hasan).

Dari teori yang di tawarkan oleh Syahrur tersebut, hukum dalam pandangannya dapat berubah sepanjang hukum itu bergerak di antara batas-batas dan tidak keluar darinya. Metodologi Syahrur tidak tunduk pada konsep yang dipahami secara tekstual, namun ia memadukan analisis tekstual dan kontekstual untuk menempatkan sebuah hukum yang humanis yang memberikan panduan secara umum.

Referensi Makalah®  
Kepustakaan: M. In’am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003). Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta; Elsaq Press, 2007).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar