Skip to main content

Islam dan Kemerdekaan Berpikir

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 21, 2013

Secara konseptual, kemerdekaan berfikir bisa dilihat dari ajakan Tuhan dalam al-Quran. Kemajuan peradaban barat, ilmu pengetahuan dengan meninggalkan agama, maka Islam mencapai puncak kejayaannya justru dengan ilmu pengetahuan yang lahir dari gairah tauhid. Dalam perspektif historis, abad-abad pertengahan adalah abad-abad yang gelap bagi Barat (Eropa) dan abad-abad yang terang di dunia Islam. Pada periode yang kreatif dan dinamis itu, dunia Islam menjadi pusat seluruh dunia beradab.
Gustave Le Bon berkata: “Jika menaklukan sebuah kota, yang pertama dibangun orang Islam adalah masjid dan sekolah.” Dua bangunan ini merupakan simbol yang melambangkan betapa generasi awal itu telah berfikir jauh ke dunia abstrak. Masjid merupakan representasi dzikr dan sekolah adalah simbol dari makna fikr. Paduan harmonis dan fakultas inilah yang telah membentuk dan menjadi pilar peradaban maju ummat Islam. Inilah yang oleh Iqbal disebut sebagai babak baru kebudayaan Islam yang telah menampakkan suatu hasrat untuk menemukan rangkaian idea-idea sistematik tetapi suatu pengabdian sepenuh hati kepada kebenaran.
Dalam konteks yang sama, Iqbal menyebut kedua dimensi dengan istilah sumber baku atau kekuatan agama, al-Quran dan hadis dan sumber dinamis yakni ijtihad sebagai kekuatan peradaban. Kedua sumber tersebut merupakan sumber pengembangan pemikiran agama dalam Islam. Ijtihad adalah upaya penggunaan penalaran yang kritis dan mendalam untuk memahami kedalaman dan keleluasaan isi kandungan ayat-ayat suci al-Quran dan hadis yang merupakan sumber baku. Ijtihad dengan sendirinya hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang bermental mujtahid dan siap merekonstruksi interpretasi berdasar tuntutan perubahan.
Konsep berfikir dalam Islam yang membuahkan satu warisan terkaya di dalam kultur Islam dan yang pengaruhnya terhadap jalan pikiran orang-orang Barat sangat dalam nampak jelas dan dapat bertahan hingga saat ini, adalah kelanjutan dari pengalaman pemikiran rasionalistis orang-orang Mu’tazilah pada abad ke-2, ke-3 dan ke-4 M.
Mu’tazilah sendiri lahir dari pertentangan antara guru dan murid, Washil Bin Atha dan Hasan Al Basri yang beraliran Murjiah, tetapi sesungguhnya ia merupakan gerakan reaktif dan respon terhadap kalangan non Muslim yang tidak menyukai Islam. Dalam sejarahnya, ekspansi Islam, tidak disertai pemaksaan sesuai ajaran Allah terhadap masyarakat yang ditaklukkan untuk memeluk Islam, dari warga negara non Muslim ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karenannya ingin menjatuhkan Islam, demikian diungkapkan Harun Nasution.
Bagi Muktazilah, akal sangat tinggi kedudukannya. Mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiyah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mu’tazilah dengan demikian mengambil bentuk simbolis, dalam melakukan interpretasi terhadap teks. Wahyu diterima dengan saleh tetapi kebenarannya harus berdasarkan justifikasi akal.
Mereka juga melihat akal menunjukkan kekuatan manusia. Akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, dewasa. Ia manusia dewasa mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan serta mampu befikir secara mendalam.
Teologi rasional Mu’tazilah inilah yang membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya fisafat tetapi juga sains pada masa antara abad VIII dan XIII M. Filosof besar pertama yang dikenal adalah al Kindi (796-873 M)18 yang menegaskan bahwa antara filsafat dan agama sama sekali tak bertentangan.
Dalam beberapa hal teologi tradisional Asy’ariah kurang mendorong berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis. Meskipun demikian tradisi Asy’ari masih belum terlihat deras ketika Al Ghazali (1058-1111 M) masih juga melakukan counter terutama lewat Tahafut al Falasifah terhadap pemikiran filosof Muslim beraliran Mu’tazilah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986). M. Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama Dalam Islam, (Jakarta: Tintamas, 1966). Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, (Jakarta: UI Press, 1986). A. Syafi'i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993). Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Atas Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994). Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Pustaka Salman, 1983).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar