Skip to main content

Ila' Masa Nabi dan Masa Jahiliyah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 17, 2013

Seperti telah dijelaskan di atas bahwasanya ila’ menurut pengertian Bahasa Arab adalah menolak sesuatu dengan bersumpah atau mengelak dengan sumpah. Adapun menurut istilah fiqih adalah menolak tidak mau bersenggama dengan istri dengan bersumpah. Sumpah itu dapat dalam bersumpah dengan nama Allah swt, atau berpuasa, atau bersedekah, atau mengerjakan ibadah haji, atau mentalaknya.
Pada masa Jahiliyyah ada suami yang bersumpah tidak akan menyentuh istrinya selama satu atau dua tahun atau lebih dengan maksud merusaknya, sehingga istrinya itu bagaikan orang yang digantung. Dan sumpah itu merupakan kebiasaan kaum Jahiliyyah. Tentu saja sumpah semacam ini merupakan penghinaan dan permusuhan yang nyata serta bertindak dzalim terhadap hak-hak istri.
Pada zaman Jahiliyyah ila’ bisa terjadi meskipun istri tidak berbuat suatu kesalahan. Namun Islam datang mencabut akar-akar adat kebiasaan ini, dan membuat batasan tegas lagi diperbolehkannya ila’ yang kalau melanggar, istri bisa menuntut untuk bercerai dari suami. Batas waktu ila’ hanya berlaku empat bulan. Kalau suami menggauli istri dalam masa ini, berarti dia telah melanggar sumpahnya dan oleh karenanya dia wajib membayar kifarat.
Anas menyebutkan bahwa: Rasulullah saw meng-ila’ salah seorang istrinya satu bulan, kakinya yang mulia telah beranjak, maka berdiri di tempat minum yang telah beranjak, maka berdirilah disediakan untuknya selama 29 hari kemudian turun (melepaskan), sahabat bertanya: Ya Rasulullah saw engkau ila’ sebulan ? Nabi menjawab “satu bulan 29 hari”. (HR. Bukhari).
Ada dua pendapat tentang sumpah ila’ itu apakah harus dengan nama Allah swt, yaitu sebagai berikut 1) Tidak harus dengan nama Allah swt; 2) Harus dengan nama Allah swt. Adapun pendapat yang pertama itu lebih kuat. Maka apabila seorang berkata kepada istrinya “Apabila aku bersenggama denganmu (istri) aku harus berpuasa/ shalat,” sudah termasuk ila’.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, (Asy Syifa’, Semarang, 1938), Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Bairut Libanon: Daar al-Kitab al-Islamiyah, 595 H). Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1999).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar