Skip to main content

Terbentuknya Nahdhatul Ulama (NU); Reformis Vs Tradisional

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: May 07, 2013

Nahdhatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926 atas prakarsa sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan Jawa Timur. Nahdhatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi wadah perjuangan para pemimpin Islam tradisional yang bertujuan untuk membela kedudukan ulama dan otonomi pesantren. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah dan kelompok modernis moderat.
Saat Nahdhatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926 di samping mempunyai latar belakang kepentingan doktrin juga berangkat dari keprihatinan keagamaan untuk merespon aktifitas Wahabi yang menguasai rezim Ibnu Sa'ud di Makkah. Lebih menarik lagi bahwa sering kali perilaku ulama NU yang sering kontroversi, selalu mempunyai justifikasi agama.
Hakekat NU adalah organisasi ulama-ulama salaf sehingga dalam kebijakan bergaris NU otoritas ulama yang faham keagamaan menjadi syari’ah memiliki posisi strategi faham keagamaan NU secara sederhana kaum tradisionalis disebut Ahlussunnah Wa al-Jama’ah. Artinya golongan atau orang-orang yang setia untuk mengikuti jejak Rasulullah saw, sebagian yang dipraktekkan bersama sahabatnya. Faham Sunni yang dikembangkan NU bercirikan dengan masih tetap mempersatukan tradisi pemikiran ulama salaf.
Dalam catatan sejarah, Nahdhatul Ulama bermula saat kegiatan reformasi mulai berkembang luas, para ulama belum begitu terorganisir. Namun mereka sudah saling mempunyai hubungan yang sangat kuat. Perayaan pesta seperti haul, ulang tahun kematian seorang kiai secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar pun para bekas murid pesantren mereka yang kini tersebar di seluruh dunia.
Pada awal abad XX, dalam kurun waktu 10 tahun seorang yang sangat dinamis yang pernah belajar di Makkah, yakni KH. Abdul Wahab Hasbullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan seorang kiai Jombang dari Jawa Timur yang sangat disegani, yakni KH. Hasyim Asy’ari.
Perbedaan antara kaum tradisionalis dengan kaum reformis menjadi seru pada tahun 20-an. Dalam diskusi, KH. Wahab berhadapan dengan A Soorkati seorang guru agama dari Sudan, Afrika Timur, pendiri gerakan Reformasi al-Irsyad, demikian juga dengan A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Akan tetapi KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab tidak menutup diri terhadap sasaran pembaharuan dan menyetujui gagasan pentingnya modernisasi sistem pendidikan, walaupun tetap menolak meninggalkan madzhab.
Kehebohan yang secara langsung mengenai kaum tradisionalis terjadi pada tahun 1922. KH. Mas Mansyur, salah satu seorang guru Madrasah Nahdlatul Wathan, mengajukan pengunduran dirinya untuk membangun dan memimpin gerakan reformis Muhammadiyah, tetapi kaum tua tetap berjuang. Pada tahun yang sama mereka meningkatkan kegiatan kemasjidan dengan membentuk suatu badan untuk mengurusi masalah-masalah masjid.
Dua tahun kemudian diadakan kursus agama untuk orang dewasa di mana bisa berguru dan ulama muda diberi pengarahan tiga kali seminggu di Madrasah Nahdlatul Wathan. Orang-orang itu kemudian membantuk semacam organisasi yang diberi nama Syubbanul Wathan, Pemuda Patriot, untuk membahas masalah hukum agama, program dakwah, peningkatan pengetahuan bagi para anggota dan sebagainya.
Pada tahun 1926 bulan Januari, sebelum kongres al-Islam di Bandung, suatu rapat antar organisasi-organisasi pembaru di Cianjur memutuskan untuk mengirim utusan yang terdiri dari dua orang pembaharu Mekkah. Satu bulan kemudian konggres Islam tidak menyambut baik gagasan KH. Wahab yang menyarankan agar usul kaum tradisionalis mengenai praktek keagamaan dibawa oleh delegasi Indonesia. Penolakan yang masuk akal itu karena sebagian kaum reformis menyambut baik pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi telah menyebabkan kaum tradisionalis menjadi terpojok dan terpaksa memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, dengan membentuk sebuah komite untuk mewakili mereka di hadapan raja Ibn Sa’ud. Untuk memudahkan tugas ini, pada tanggal 13 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam tradisionalis yaitu, Nahdhatul Ulama (NU).
Muktamar I Nahdhatul Ulama (NU) baru diadakan bulan Oktober tahun tersebut dan pengiriman delegasi tradisionalis ke Mekkah dilaksanakan dua tahun kemudian. Mandat yang dibawa oleh delegasi untuk diserahkan kepada raja baru itu berisi permintaan mengenai kemerdekaan bermadzhab. Akhirnya permohonan tersebut dikabulkan oleh raja dalam surat balasannya.
Pada muktamar tahun 1928, Nahdhatul Ulama (NU) menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda, pengakuan yang akhirnya diterima tanggal 6 Februari. NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan panutan yang ketat pada keempat madzhab dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan agama Islam.
Nahdhatul Ulama (NU) menetapkan dirinya menjadi pengawas tradisi dengan mempertahankan ajaran keempat madzhab, meskipun pada kenyataannya madzhab Syafi’iah yang dianut oleh kebanyakan umat Islam.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Martin Van Brunessen, NU: Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (LKIS, Yogyakarta, 1997). Andree Feillard, NU Vis-à-Vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (LKIS, Yogyakarta, 1999). D. Lombard, Dokumen-Dokumen NU, (t.tp., t.p., 1990). Syamsuddin Haris, Aspek Agama dalam Perilaku Politik NU, (Pesantren NO. 2, Vol. VIII, 1991).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar