Skip to main content

Urgensi Pembakuan Transliterasi

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 22, 2013

Proses pembakuan berhubungan dengan keseragaman. Pembakuan pedoman transliterasi berarti penyeragaman kaidah penulisan transliterasi. Disamping itu, pembakuan juga berarti kemantapan atau kestabilan yang luwes. Setiap bahasa memang harus mempunyai kemantapan dalam penerapan kaidahnya, akan tetapi kemantapan itu bukanlah hal yang kaku. Karena, kaidah yang dibakukan itu harus selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas.
Keseragaman memang memang tidak bersifat mutlak, baik menurut ukuran waktu maupun ukuran tempat. Pendapat yang mengatakan bahwa pembakuan adalah pembekuan, merupakan pendapat yang salah. Itulah yang mendorong Ferguson untuk merumuskan batasan pembakuan. Sesuai dengan apa yang dikutip oleh Anton M. Moeliono, batasan pembakuan menurut Ferguson adalah proses penyeragaman bahasa yang diterima secara luas, walaupun masih ada modifikasi kecil di sana-sini.
Pembakuan transliterasi dibutuhkan oleh negara yang banyak mengkaji tentang studi-studi Islam. Banyak usaha yang dilakukan untuk menyeragamkan pedoman atau kaidah transliterasi, akan tetapi, selalu gagal. Karena masing-masing negara mempunyai aturan-aturan pengucapan bahasa tersendiri, yang sudah mengakar dan sulit untuk dirubah.
Pembakuan transliterasi bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak usaha yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi, perpustakaan, lembaga pendidikan dan perusahaan penerbitan dalam membuat pedoman transliterasi. Masing-masing membuat kebijakan tersendiri dengan harapan dapat dijadikan kaidah yang dapat dipakai secara universal. Akan tetapi tidak ada satupun yang berhasil. Hal ini tidak bisa ditanyakan mengapa, bilamana mereka masih berpegang teguh pada aturan-aturannya sendiri.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia, sebelum dibakukan, bermacam-macam pedoman transliterasi banyak bermunculan. Usaha penyeragamannyapun pernah dicoba, akan tetapi hasilnya belum bisa dipakai secara menyeluruh di Indonesia.
Pedoman transliterasi disusun menurut Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang berlaku. Prinsip pelambangannya, adalah satu fonem satu grafem. Sedangkan huruf Arab yang tidak dapat dilambangkan dalam huruf latin, dibakukan dengan memakai simbol diakritik. Jadi, berdasarkan pedoman diatas, sebagian transliterasi huruf Arab dilambangkan dengan huruf Latin, sebagian dengan simbol diakritik dan sebagian dilambangkan dengan mengkombinasikan huruf dengan simbol diakritik.
Pentingnya pembakuan transliterasi sangat dirasakan oleh bangsa Indonesia. Karena penulisan transliterasi yang berbeda-beda, sangat membingungkan. Sehingga, pada saat dihadapkan dengan lafal Arab, satu huruf bisa jadi dilafalkan dengan beberapa bunyi. Ini akan berakibat fatal pada pemaknaan bahasa Arab, sebab lafal yang berbeda akan menimbulkan makna yang berbeda pula.
Pembakuan transliterasi, juga sangat penting bagi para ilmuwan yang banyak menulis tentang studi Islam. Mereka banyak menemukan istilah-istilah Arab yang tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa mereka. Sehingga, istilah-istilah itu ditulis apa adanya dalam sistem penulisan transliterasi. Penulisan transliterasi itupun dilakukan menurut keyakinan mereka sendiri-sendiri. Ketidakseragaman penggunaan transliterasi itu akan berdampak negatif pada para pembaca. Maka dari itu.
Baik masyarakat umum maupun para ilmuwan, tidak dapat mengelak bahwa mereka membutuhkan pembakuan itu. Karena, disadari ataupun tidak, ketidakbakuan transliterasi akan mengakibatkan kesalahan dalam pelafalan. Maka dari itu, pembakuan transliterasi merupakan suatu tindakan yang tepat untuk mengatasi kesalahan-kesalahan itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Anton M. Moeliono, Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, (Jakarta: Djambatan, 1983), Departemen Agama RI, Pedoman Transliterasi Arab-Latin, (Jakarta: t. pn, 2003).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar