Skip to main content

Tahap Perkembangan Pemikiran Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 08, 2013

Secara historis, perkembangan pemikiran Islam dapat diklasifikasikan secara detail dan dijelaskan bahwa segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, kebutuhan mendesak yang dirasakan adalah bagaimana memelihara dan menyebarluaskan naskah al-Quran yang mendapatkan prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya.
Perkembangan Islam ke negara-negara selain Arab yang memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
Hal ini mendorong perkembangan ilmu fikih (hukum) yang paling penting pada saat itu. Ilmu ini memerlukan ilmu pengetahuan tentang al-Quran dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya, semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fikih tersebut dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Secara detail perkembangan pemikiran Islam atau ilmu pengetahun Islam terbagi dalam empat tahap:
Tahap I: Kajian kebahasaan (masa Khulafaurrasyidin 40 H dan masa Khilafah Bani Umayah 134 H)
Bahasa Arab adalah bidang studi pertama yang banyak ditulis orang pada masa-masa sebelum Islam yang dikenal dengan masa Jahiliyah. Mereka selalu mencari kenikmatan khusus dengan bahasa ini karena kekayaan kosa katanya, bentuk-bentuknya, padanan katanya, kemampuannya untuk menunjukkan makna¬makna kiasan yang terbaik serta keindahan dan kefasihannya. Sehingga tidak mengherankan jika dalam rangka memahami al-Quran secara tepat, maka perhatian yang cukup besar dicurahkan kepada kajian tata bahasa yang langkah pertama dirintis oleh Ali.
Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah, para Imam mengikuti jejak para khalifah yang saleh dengan memperlakukan teologi dan ilmu kalam sebagai cabang dari fiqih. Namun para cendikiwan muslim di belakang hari menganggap teologi skolastik atau ilmu kalam dan ilmu hukum (fikih) merupakan studi yang terpisah.
Tahap II: kajian-kajian terhadap filsafat, sains dan sejarah, dan dampaknya terhadap kurikulum (masa khalifah Abbasiyah tahun 132 H)
Pada masa ini budaya dan pendidikan Islam sudah mulai dikembangkan. Penekanannya bergeser dari ilmu-ilmu bertingkat tinggi dan bersifat spritiual keapda ilmu-ilmu filsafat dan kealaman tanpa meninggalkan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang lebih luas menurut Islam.
Hal ini disebabkan dua faktor penting; pertama; pengaruh Persia (Iran) dan kedua: pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad pada tahun 763 M. Ibukota yang baru ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda-beda agama dan kebudayaannya. Para pemeluk agama-agama Kristen dan Zoroaster membawa peradaban Persia dan berbagai unsur budaya Yunani (Hellenisme). Karena bahasa Persia merupakan bahasa yang paling dominan, maka bahasa tersebut diajarkan di sekolah-sekolah, universitas dan digunakan dalam penulisan buku-buku.
Masa inilah merupakan masa kajayaan bagi bangsa-bangsa muslim (saracens) di timur, karena masa penaklukan telah lewat dan peradaban mulai dibangun. Bagdad sebagai kota terindah sepanjang masa juga telah berubah menjadi pusat berbagai kegiatan ilmiah dan intelektual.
Penerjemahan buku-buku filsafat dan warisan pemikiran Yunani mulai digiatkan oleh apra khalifah. Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Baitul Hikmat (dewan Ilmu Pengetahuan) yang mempunyai fungsi menerjemahkan dan menyalin berbagai macam naskah dan manuskrip, di samping itu juga dijadikan sebagai perpustakaan. Dari terjemahan-terjemahan ini selain menampilkan dimensi-dimensi baru dalam ilmu pengetahuan kepada para cendekiwan muslim, juga menampilkan tantangan-tantangan baru.
Oleh karenanya semenjak al-Kindi, filsafat mulai dikembangkan. Para filsuf Arab kenamaan dan para pemikirnya tidak hanya menguasai berbagai macam cabang ilmu pengetahuan tetapi juga memberikan sumbangan-sumbangan istimewa dengan mengislamisasikan ilmu-ilmu Yunani itu dengan memberikan penjelasan tentang berbagai konsep dasar pendidikan. Di antara para filsuf tersebut adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina (Avicennna), al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd (Averos) dan Ibnu Khaldun.
Kecuali pemikiran kefilsafatan rasional seperti disajikan para filosof muslim untuk mempertemukan filsafat Yunani dengan ajaran Islam, muncul pula pemikiran tasawuf sebagai reaksi terhadap kemewahan-kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Dalam perkembangannya, muncul tarekat-tarekat sufi yang menjauhkan kemajuan Islam dari dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan (science) dan kehidupan dunia yang diperlukan bagi kesejahteraan hidup umat manusia. Pengaruh mistik luar pun (dari Cina, India, dan Persia) tidak dapat terelakkan. Paham panteisme masuk ke dalam dunia tasawuf. Namun demikian masih ada tokoh sufi yang masih bertahan pada ajaran Islam murni, termasuk di dalamnya al-Ghazali.13
Tahap III: Kurun waktu kebekuan dan kemunduran
Hal tersebut terjadai pasca jatuhnya Baghdad dan penghancurannya oleh bangsa Tartar, walaupun di lain tempat, yaitu Spanyol Islam bangkit, akan tetapi itupun tidak berlangsung lama. Dengan tumbangnya pusat peradaban dan pendidikan umat Islam, maka para ulama’, sejak itu merasa khawatir jika Islam sendiri lantas ditafsirkan bermacam-macam, karena itu mereka mengambil keputusan bahwa pintu ijtihad harus ditutup dan umat muslim diberitahu bahwa pintu taqlid (mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, yang dicetuskan oleh tokoh-tokoh pemikir di masa lampau) adalah satu-satunya jalan yang dapat mereka lalui.
Di samping itu, setelah pusat pendidikan Islam di Cordova, Spanyol benar-benar runtuh, kepicikan dalam berpikir pun mulai timbul. Walaupun khilafah Islam masih ada, tetapi ia tidak memandang perlu untuk mengamati perkembangan-perkembangan baru di bidang keilmuan di Barat dan tidak mau mengetahui filsafat barat yang baru serta munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang baru pula.
Akibatnya kelompok ulama pada waktu itu hanya memusatkan perhatiannya pada semua yang telah ada sebelumnya dan mencoba menggunakannya untuk mengatasi tantangan baru. Dengan demikian ilmu pengetahuan itu dibatasi perkembangannya hanya sampai pada apa yang telah mereka pelajari sebelumnya. Bahkan semakin lama penekannya semakin ditujukan pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu semata.
Kurun waktu itu berlangsung hingga abad ke-19, walaupun Turki pada awal abad ke-19 menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan baru, terutama kepentingan kekuatan militernya dan Mesir pasca ditaklukkan Napoleon. Akan tetapi perkembangannya amat lamban.
Di samping itu juga sejarah telah berbicara bahwa jatuhnya kebesaran Al- Islam (dalam arti sosial empiris) bertepatan dengan munculnya dikotomi pikiran antara fundamentalisme Ghazali dengan rasionalisme Ibnu Rusyd. Karena itu hakekat pertentangan atau antoginisme ini harus kita pelajari dengan teliti, agar kita bisa belajar dari sejarah, dan mencoba untuk kembali menemukan jalan lurus yang diridhai Allah.
Tahap IV: Kebangkitan Kembali dan Tantangannya
Jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu dari Tartar mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran. Gerakan tarekat berkembang, mungkin sebagai kompensasi dan pelipur lara. Pada saat keadaan demikian, muncullah gerakan purifikasi (pemurnian) yang mengajak umat Islam kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Filsafat dan Tasawuf ditentang, karena dirasakan telah mengantarkan umat Islam menjauhi ajaran Islam yang benar. Tokoh utama gerakan ini adalah Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah, yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Di Afrika Utara muncul pemikir besar Ibnu Khaldun yang kemudian terkenal sebagai bapak sosiologi dunia. Perhatian dunia barat terhadap pemikiran Ibnu Khaldun sangat besar. Kitabnya yang amat monumental adalah Muqaddimah, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kecuali sebagai bapak sosiologi, Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai bapak filsafat sejarah yang sangat mengagumkan.
Sejaman dengan Ibnu Khaldun, di Granada muncul seorang filsuf hukum Islam bernama Ali Sathibi yang mewariskan karya yang sangat bermanfaat kepada umat Islam, yaitu al-Muwafaqat.
Dalam kaitannya dengan masalah pendidikan, pada abada ke-21 pemerintah-pemerintah Islam dan umat muslim pada umumnya menyadari akan adanya keterbatasan-keterbatasan dalam jangkauan ilmu pengetahuannya. Akan tetapi untuk menghindari terjadinya benturan-benturan dengan yang memiliki otoritas di bidang agama, perlu ditampilkan sistem pendidikan yang lain, terutama pendidikan sistem barat yang sekuler. Akan tetapi hal tersebut mempunyai tantangan berat, karena antara ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan sekular berjalan pada dua jalur yang sama sekali terpisah.
Pada perkembangan selanjutnya pemikiran Islam mengalami masa kebangkitan. Hal ini perlu dilakukan karena Islam memiliki peran penting historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap fenomena ini sangat tidak memadai. Ada kebutuhan untuk mendorong dan memprakarsai pemikiran yang berani, bebas, dan produktif tentang Islam sekarang.
Inilah mengapa Arkoun yang hidup di Aljazair, yang mana pernah dijajah oleh Perancis sebagai kolonial, merasa tergugah untuk melakukan ijtihad terhadap pemikiran Islam. Ia dikejutkan oleh konfrontasi yang tajam dan keras antara budaya dan bahasa Perancis sebagai penjajah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen. Purwanto, (Mizan, Bandung, 1997). Ahmad Azhar & Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, (Mizan, Bandung, 1993). Hamid Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, (Tiara Wacana, 1989).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar