Skip to main content

Makna Ruh (Roh) menurut al-Quran dan Teolog

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 08, 2013

Dimensi manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah dimensi Ruh. Dimensi Ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupan manusia di bumi, untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Tegas nya bahwa al-Ruh merupakan daya potensial internal dalam diri manusia yang akan mewujud secara aktual sebagai khalifah Allah.
Kata Ruh (roh) atau dalam bahasa Indonesia sering diucapkan dengan roh seakar kata dengan kata rih yang berarti angin. Oleh karena itu ruh disebut juga dengan an-nafas yaitu nafas atau nyawa. Nafas atau nyawa yang ada dalam diri manusia laksana angin, bisa dirasakan, tapi tidak bisa dilihat karena saking halusnya. Bagi orang Arab, ruh menunjukkan arti laki-laki, sedangkan an-Nafs menunjukkan arti perempuan. Menurut Abu Haitham, ruh adalah nafas yang berjalan diseluruh jasad. Jika ruhnya keluar, maka manusia tidak bernafas.
Sedangkan bagi ibnu Arabi kata ruh itu mempunyai banyak arti, diantaranya (1) al-Farh (kegembiraan) (2) al-Quran, (3) al-Amr (Perintah atau arah) dan (4) an-Nafs (jiwa atau keakuan). Disamping itu, ruh diartikan sebagai hakikat berfikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Masih banyak pendapat mengenai ruh ini, namun ruh tetap suatu yang misteri dan abstrak. Namun demikian, pengetahuan diskursif mengenai sifat-sifat ruh dijelaskan dalam banyak tempat di al-Quran dan buku-buku filosof dan sufi. Sehingga pengetahuan mengenai ruh bersifat spiritual.
Menurut al-Ragib al-Asfahaniy (w. 503 H/ 1108 M), diantara makna ruh adalah an-Nafs (jiwa manusia). Hal ini dapat dipahami dari analogi yang digunakannya yang menyamakannya dengan al-Insan adalah al-Hayawan, yaitu bahwa salah satu sisi manusia adalah sisi kebinatangan, maka disebutlah ia dengan al-Hayawan al-Natiq (hewan yang berbicara).
Berbeda dengan itu, Ibnu Zakariya (w. 395 H/ 1004 M) menjelaskan bahwa kata ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri dari huruf ra, waw, ha, mempunyai arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.
Fitrah ruh sangat multi dimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk ke dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada. Kematian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk dalam tubuh manusia ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut hadis Nabi, bahwa kesiapan itu ketika manusia berusia empat bulan dalam kandungan. Pada saat inilah ruh berubah nama menjadi al-nafs (gabungan antara ruh dan jasad).
Di dalam arwah (sebelum bersatunya ruh dengan jasad), sebagaimana dalam Qs. al-A’raf: 172, Allah sendiri telah mengadakan perjanjian primordial dengan ruh, yang mana perjanjian itu merupakan natur aslinya. Saiyid Husen Naser menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan asrar alastu (rahasia alastu) yang Allah telah memberikan perjanjian kepada ruh manusia. Sedangkan Ikhwan Shafa menyatakan bahwa firman tersebut berkaitan dengan ruh di alam perjanjian (alam mitsaq) atau disebut alam al-Ardh al-Awwal (alam perjanjian pertama).
Ruh pada prinsipnya memiliki nature yang baik dan bersifat ketuhanan (ilahiyah). Ia merupakan substansi samawi dan alamnya alam ruhani. Ia hidup melalui zatnya sendiri yang tidak butuh makan,minum serta kebutuhan jasmani lainnya. Ruh tidak bisa lepas dari dua bagian; pertama, ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri; dan kedua, ruh yang berhubungan dengan badan jasmani. Ruh yang pertama disebut dengan al-Munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-Gharizah, atau disebut dengan Nafsaniah. Ruh al-Munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah swt kepada manusia. Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.
Wujud ruh al-Munazzalah adalah al-Amanah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan makhluk-makhluk lain. Amanah adalah titipan atau kepercayaan Allah yang dibebankan (taklif) kepada manusia untuk menjadi hamba dan khalifah di muka bumi. Tugas hamba adalah menyembah dan berbakti kepada penciptanya, sebab di alam arwah manusia sudah berjanji bahwa Allah adalah Tuhannya. Sedang tugas khalifah adalah menjadi wakil Allah di muka bumi, pengganti dan penerus person yang mendahuluinya, dan sebagai pewaris-pewaris di bumi.
Ruh al-Munazzalah perlu pengingat, petunjuk maupun pembimbing. Sedang pengingat yang dimaksud adalah al-Quran dan as-Sunnah. Apabila aspek inheren ruhani (al-Gharizah) lupa akan dirinya, maka ruh ini memberi peringatan. Sedangkan al-Gharizah adalah bagian dari ruh manusia yang berhubungan dengan jasad.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press, 2005). Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap konsepsi al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Al-Garib al-Afahaniy, Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972). M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007). Saiyid Husen Naser, Tasawwuf Dulu dan Sekarang, ter. B. Abdullah Hadi, (Living Sufisn), (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994). Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001). Jalaluddin Rakhmad Konsep-Konsep Antropologi, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar