Skip to main content

Pengertian Wathi’ Subhat

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 16, 2013

Secara etimologis pengertian wathi’, memiliki makna memijak. Ada yang mengartikan wathi’ dengan bersetubuh dengan perempuan. Adapun subhat secara etimologis adalah keraguan, kebimbangan, tiada tentu.
Adapun pengertian wathi’ subhat secara istilah antara lain:
Menurut syara, wathi’ subhat adalah suatu perbuatan yang bisa mengugurkan seseorang terhadap hukum (had). Contoh persetubuhan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan karena menyangka bahwa yang disetubuhi adalah istrinya sendiri.
Menurut hukum normative, wathi’ subhat adalah hubungan batin antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya unsur kesengajaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi juga bukan kesengajaan yang ringan. Contoh seorang laki-laki dan perempuan yang sedang asyik mabuk-mabukan kemudian tanpa sadar dan disengaja keduanya tidur bersama.
Menurut para fuqaha, di antaranya Madzhab al-Arbaah. Pada umumnya sama dalam memberikan pengertin wathi’ subhat yakni sesuatu perbuatan yang mewajibkan seseorang untuk membayar mahar dan sepadannya.
Kemudian dalam hal mahar dan had ini oleh Syafi’iyah, Hanafiah, Malikiyah, dan Hambaliyah memberikan ketentuan (tafsir) yang agak berbeda.
Dari berbagai pengertian wathi’ subhat, dapat dibedakan dua macam bentuk pengertian:
Subhat akad adalah manakala seorang laki-laki melaksanakan akad nikah dengan seorang perempuan seperti halnya dengan akad nikah sah lainnya, tapi kemudian ternyata bahwa akad nikah tersebut fasid karena satu dan lain alasan. Contoh, akad nikah non muslim terhadap perempuan muslimah.
Subhat perbuatan adalah manakala seorang laki-laki mencampuri perempuan tanpa adanya akad antara mereka berdua baik sah maupun fasid, karena tidak sadar atau dia meyakini bahwa yang dia campuri itu halal baginya, tapi ternyata perempuan itu adalah haram dicampuri. Contoh, seorang laki-laki menyetubuhi perempuan karena menyangka istrinya, tapi ternyata yang disetubuhi itu bukan istrinya yang halal baginya.
Dari dua bentuk pengertian ini, oleh Abu Hanifah beliau memperjelas dan memperluas pengertian subhat bentuk fi’li ini dengan pengertian yang sangat luas sekali ketika beliau mengatakan, kalau ada seorang laki-laki mengambil seorang perempuan menjadi orang upahannya, lalu dia menzinainya, atau mengupahinya untuk melakukan zina dengannya, lalu dia benar-benar melakukan perbuatan itu, maka tidak ada had (hukuman zina atas keduanya). Sebab pemilikan pemanfaatan atas perempuan itu merupakan sesuatu yang subhat.”
Pada umumnya para ulama Sunni dan Syiah sependapat, bahwa manakala salah satu pengertian di atas (subhat akad dan fi’li) telah terjadi maka si perempuan harus menjalani iddah sebagaimana layaknya perempuan yang dicerai. Sama halnya dengan kewajiban membayar mahar secara penuh kepadanya oleh seorang laki-laki serta perempuan tersebut dihukumi sebagaimana halnya seorang istri (yang sah) dalam hal iddah, mahar dan penentuan nasab.
Jika subhat tersebut terjadi kepada kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan), maka anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut dikaitkan (nasabnya pada keduanya). Sedangkan bila hanya terjadi pada salah satu pihak, maka anak tersebut dikaitkan nasabnya hanya pada orang yang menjalani kesubhatan dan ditiadakan dari yang tidak mengalaminya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Yayasan Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 1990). Muhammad Abu Zahrah, Mudharabah fi Aqdi az-Zawaj wa Atsarihi, (Darul Fikri al- Arabi, t.t).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar