Skip to main content

Pengertian Amal ahlu al-Madinah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 23, 2013

Pengertian Amal ahlu al-Madinah adalah praktek hukum yang disepakati penduduk Madinah.
Menurut pendapat Imam Malik, Amal Ahlu al-Madinah adalah sesuatu yang telah didukung oleh orang-orang berpengetahuan yang patut diikuti serta sesuatu yang telah berlaku diantara (ulama Madinah) kami sejak masa Rasulullah saw. sampai pada apa-apa yang telah dipraktekkan dimasanya. Sebagaimana dikutip Yassin Dutton dalam bukunya Sunnah, Hadis dan Amal Ahlu al-Madinah, dia mengatakan:
Ketika saya tidak mendengar sesuatu dari mereka, saya melakukan ijtihad dan mempertimbangkan masalah sesuai dengan cara (mazhab) mereka yang saya temui, hingga saya merasa bahwa saya telah sampai kepada kebenaran atau mendekatinya. Karenanya, hal itu tidak akan keluar cara (mazhab) orang-orang Madinah dan pendapat-pendapat mereka, meskipun saya tidak pernah mendengar masalah (keputusan) itu secara langsung, dengan demikian, kata saya: “Itu pendapatku” adalah setelah mempertimbangkan permasalahan secara mendalam mengenai hubungannya dengan sunnah dan sesuatu yang telah didukung oleh orang-orang berpengetahuan yang patut untuk diikuti serta dengan sesuatu yang telah berlaku diantara kami (amal) sejak masa Rasulullah saw. dan para khalifah yang mendapat petunjuk, disamping hal-hal yang saya temui dalam hidupku. Dengan demikian, hal tersebut adalah pendapat mereka, dan saya tidak menyimpang darinya kepada pendapat seseorang lainnya.
Menurut Qodhi Iyadh (w. 544H/1 149M) dan Ibnu Taimiyyah (w. 728H/1328M) membagi Amal ahlu al-Madinah menjadi dua, yaitu:
1) Amal Naqli (amal yang berdasarkan nash)
Ibnu Taimiyyah hanya menunjukkan dalam istilah secara umum tetapi Qodhi Iyadh membedakan menjadi empat bentuk, pertama amal qauli yaitu sesuatu yang diucapkan oleh Nabi, kedua amal fi'li yaitu sesuatu yang dilakukan oleh Nabi, ketiga amal taqriri yaitu sesuatu yang berasal dari orang lain (sahabat) dan disetujui oleh Nabi, dan keempat amal tarki yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh Nabi.
2) Amal Ijtihadi (Amal berdasarkan hasil ijtihad)
Dalam hal ini tentang amal yang berasal dari ijtihad penguasa terkemuka (setelah Nabi), Ibnu Taimiyyah membagi menjadi dua yaitu dilihat pada masa sebelum Utsman bin Affan (w. 35H/ 656M) wafat dan sesudahnya.
Ijtihad sebelum kematian khalifah Utsman disebut sebagai amal qadim (terdahulu) dan ijtihad setelah Khalifah Utsman meninggal sebagai amal mutaakhir. Bentuk pertama dipegangi sebagai hujjah yang harus diikuti. Untuk mendukung pendapat ini ia mengutip hadis yang berbunyi:
Hendaknya kalian harus berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku.
Bentuk kedua yaitu amal mutaakhir, yang secara umum tidak dipegangi sebagai hujjah. Sedangkan Qodhi Iyadh tidak membedakan demikian tetapi dia mengambil tiga pendapat berbeda diantara pengikut mazhab Maliki, yaitu sebagian besar mereka tidak berpegang bahwa hal itu merupakan suatu hujjah, tidak pula sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk memberikan pilihan pada ijtihad seseorang atas lainnya. Pendapat kedua adalah meskipun bukan merupakan hujjah, namun hal itu dapat digunakan untuk memberi pilihan kepada ijtihad seseorang atas yang lainnya. Dan pendapat yang ketiga adalah bahwa meskipun amal ini adalah hasil ijtihad tetapi tidaklah dianggap sebagai hujjah.
3) Kehujjahan Amal Ahlu al-Madinah
Madzhab Malikiyah memegangi kuat-kuat bahwa semua orang harus taat dan mengikuti Amal Ahlu al-Madinah, hal ini disebabkan karena Imam Malik dengan tegas mengatakan ketetapan untuk menjadikan Amal Ahlu al-Madinah sebagai pegangan. Ketetapan yang tegas itu dapat difahami pada isi surat Malik kepada Laits yang saat itu berbuat yang menyalahi Amal Ahlu al-Madinah. Kutipannya sebagai berikut:
Semua orang mengikuti (taba) orang-orang Madinah. Untuk itu hijrah dilakukan dan disana pula al-Quran diwahyukan, halal dihalalkan dan haram diharamkan. Rasulullah saw hidup diantara mereka agar melakukan sesuatu dan merekapun menurutinya, serta beliau membuat sunnah untuk mereka dan merekapun menurutinya, sehingga Allah memanggil beliau ke-hadirat-Nya serta memilihkan baginya apa yang dihadapan-Nya, semoga Allah memberi rahmat dan salam (kedamaian) baginya.
Kemudian setelah beliau tumbuh disana (Madinah) mereka yang diberi kekuasaan dan mereka dimasyarakatnya merupakan seorang yang selalu mengikuti beliau paling dekat. Ketika masalah-masalah timbul tentang apa yang telah mereka ketahui, mereka meletakkan pengetahuan tersebut ke dalam praktek. Jika mereka tidak memiliki pengetahuan (yang diperlukan), mereka bertanya kepada yang lain dan mungkin melakukan apa yang mereka anggap merupakan pendapat yang paling valid menurut ijtihad mereka masing-masing dan pengalaman mereka yang baru lalu (ketika Nabi masih hidup).
Ketegasan Imam Malik dalam surat tersebut merupakan pendapatnya bahwa semua orang harus mengikuti amal Madinah, yang merupakan kota di mana Rasulullah tinggal, dan dapat diketahui bahwa setiap perilaku yang berada di dalamnya diketahui adalah tradisi yang telah sesuai dengan ajara Rasulullah.
Imam Malik ketika menjelaskan hal ini dengan menunjukkan suatu peristiwa dimana Ibnu Mas’ud (w. 32 H/ 625M) seorang ulama Kufah yang paling pandai pada masanya, memberi keputusan terhadap seseorang di Kufah tentang rincian hukum, namun kemudian ia pergi ke Madinah dalam masalah itu berbeda, dimana ketika sampai di Kufah dia langsung menemui orang tersebut kemudian menyampaikan padanya pendapat yang benar yaitu putusan orang-orang Madinah.
Setelah memperoleh surat dari Imam Malik al-Laits memberikan jawaban yang menyatakan bahwa Amal Ahlu al-Madinah dibedakan menjadi dua yaitu amal Madinah yang berdasarkan Ijmak dan amal yang bukan hasil dari konsensus, dengan menyatakan:
Saya tidak mengira terdapat orang dimana pengetahuan dianggap berasal darinya dan lebih tidak menyukai pendapat-pendapat terisolalsi, atau lebih menghormati ulama-ulama Madinah terdahulu, atau lebih mau menerima pendapat-pendapat mereka ketika mereka bermufakat tentang suatu masalah daripada saya.
Analisis Abdullah menunjukkan bahwa menurut Malik terdapat perbedaan yang jelas antara istilah sunnah dan amr. Kata sunnah menunjukkan pada amal yang diambil dari praktek normatif Nabi Muhammad (atau mungkin kebiasaan penduduk Madinah pra Islam yang disahkan oleh Nabi) tanpa elemen lain dari ijtihad berikutnya. Sementara kata amr menunjukkan amal yang meskipun sering berasal dari praktek Nabi tetapi paling tidak mengandung beberapa elemen ijtihad kemudian. Oleh karena itu dapat dibedakan menjadi amal naqli dan amal Ijtihadi.
Dengan demikian otoritas Amal Ahlu al-Madinah atau kehujjahannya tidak berlaku pada semua amal. Akan tetapi amal yang diketahui merupakan amal yang diambil dari praktik normatif Nabi saw yang dapat dijadikan sebagai hujjah dan disebut sebagai amal naqli. Sedangkan amal yang berasal dari ijtihad kemudian atau amal ijtihadi masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abd al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997). Yassin Dutton, Sunnah, Hadis dan Amal Penduduk Madinah, Terj. Drs. Dedi Junaedi, (Akademika Pressindo; Jakarta, 1996).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar