Skip to main content

Konsep Nafkah dalam Pernikahan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 04, 2013

Nafkah berasal dari kata infaq, artinya berderma. Dan nafkah bisa juga diartikan sebagai belanja. Maksudnya ialah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat, dan miliknya sebagai keperluan pokok bagi mereka dalam pernikahannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi kata pemenuhan yang bermakna proses, cara, perbuatan untuk memenuhi, sedangkan kata nafkah bermakna belanja untuk hidup, pendapatan (uang), suami wajib memberi. Memberi nafkah kepada istri yaitu menyediakan segala keperluan istri seperti: makan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu, dan obat-obatan. Sesuai dengan al-Quran Surat al-Baqarah yang berbunyi:
Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (Q.S. al-Baqarah: 233).
Nafkah rumah tangga merupakan kewajiban suami terhadap istri, kewajiban rumah tangga. Nafkah terbagi menjadi dua, yaitu:
Nafkah lahir
Nafkah lahir itu terbagi tiga yaitu makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal (rumah). Makan minum dalam fikih diambil ukurannya di rumah orang tua sang Istri. Mengenai pakaian sang istri menjadi kewajiban suami untuk memberinya pakaian paling kurang dua stel atau dua pakaian selama satu tahun. Mengenai tempat tinggal, suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istrinya dimana ada tempat untuk tidur dan tempat makan tersendiri.
Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat tinggal, Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut:
  1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam massa Iddah.
  2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam Iddah talak atau Iddah wafat.
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Nafkah Batin
Nafkah batin ialah apabila suami menggauli Istri secara seksual hingga terpenuhi kebutuhannya. Yaitu suami menggauli istrinya secara seksual hingga terpenuhi hajatnya. Dalam bahasa ilmiah disebut hingga istrinya mencapai orgasmus dari hubungan kelamin itu.
Dalam suatu perkawinan dan rumah tangga sakinah, maka faktor pergaulan seksualitas ini juga sangat mempengaruhi, harta kekayaan yang melimpah ruah serta sikap yang demikian memukau dan wajah yang elok bukanlah berarti apabila salah seorang dari suami istri itu tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis.
Sebab-sebab wajibnya nafkah adalah adanya akad nikah antara suami dan istri, dan istri berada dalam kekuasaan suaminya, dan suami berhak penuh untuk dirinya, serta istri wajib taat kepada suaminya tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya, mengasuh anak suaminya dan sebagainya.
Maka agama menetapkan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya selama pernikahan berlangsung dan selama istri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaidah umum, yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya.
Menurut pendapat Imam Malik, bahwa nafkah baru menjadi wajib atas suami apabila ia telah menggauli atau mengajak bergaul, sedang istri tersebut termasuk orang yang dapat digauli, dan suamipun telah dewasa. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberi nafkah apabila istri telah dewasa. Tetapi jika suami telah dewasa dan Istri belum, maka dalam hal ini Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat: pertama, sama dengan pendapat Imam Malik, kedua, Istri berhak memperoleh nafkah betapapun juga keadaannya.
Keharusan suami memberi nafkah istrinya ialah apabila suami istri sudah tinggal sekamar dan watha’, jadi bukan hanya karena sudah terjadi akad nikah saja dan kewajiban tersebut bisa menjadi gugur dari suami apabila istrinya nusyuz (durhaka) kepadanya.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka ada beberapa syarat-syarat bagi istri agar berhak menerima nafkah dari suaminya diantaranya adalah:
  1. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri.
  2. Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai suami istri dengan suaminya.
  3. Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan semua hak-hak suami.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hafid Abdullah, Kunci Fiqh Syafi'i, (Semarang: Asy-Syifa, 1992). Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988). Sa’id Thalib Hamdani, Risalatun Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989). Proyek Pembinaan Prasarana PTA/IAIN, DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, Ilmu Fiqh, Jakarta, 1984/1985). Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2000). Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Judul Terjemahan: Analisa Fiqh Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar