Skip to main content

Sejarah Munculnya Budha Mahayana

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 04, 2013

Sebelum disebarkan, di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Budha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan atas ini hanya berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari.
Konsili pertama (abad ke-5 SM), segera setelah Buddha Gautama Parinibbana, di Rajagraha (sekarang disebut Rajgir). Konsili yang didukung oleh Raja Ajatasatru dari kekaisaran Magadha. Dan dikepalai oleh seorang Rahib yang bernama Mahakasyapa, ini bertujuan untuk mengumpulkan semua ajaran Buddha dan menetapkan kutipan-kutipan sang Budha (sutra (Budha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (Vinaya): Ananda, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Budha dan Upali, seorang murid lainnya, mere sitasikan hukum-hukum Vinaya. Ini kemudian menjadi menjadi dasar kanon pali, yang telah menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Budha.
Konsili kedua Budha (383 SM), diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika. Mazhab¬mazhab tradisional menganggap sang Budha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Budha demi mengatasi sengsara dan mencapai arahat. Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistik dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arahat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Budha penuh, dalam arti membuka jalan faham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniawan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan mayoritas).
Pada konsili yang kedua ini timbullah perpecahan dalam agama Budha menjadi 2 aliran, yaitu Stavira atau kaum ortodok dan Mahasanghika, kaum yang berpendidikan, berpendirian lebih baru dari pada yang pertama. Perpecahan ini makin lama makin nyata dan mengakibatkan timbulnya dua aliran besar dalam agama Budha, yaitu:
Golongan konservatif yang mempertahankan ajaran semula yang murni/asli tanpa dipengaruhi kebudayaan dari luar. Hal ini dipertahankan oleh daerah selatan (Ceylon) yang dipimpin oleh Sthavira, dikenal dengan madzhab Therevada atau aliran Hinayana (kereta kecil)
Golongan liberal dipimpin oleh Mahasanghika, ingin mengembangkan ajaran Budha secara terbuka terhadap pengaruh dari luar dan menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Aliran ini dikenal dengan nama aliran Mahayana.
Dua konsili pembentukan yang pernah terjadi, berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Budhis, dan beberapa perpecahan dalam agama Budha. Untuk formalisasi doktrin-doktrin Budhi ternyata dapat dire smikan pada konsili ketiga (+/- 250 SM) yang diprakarsai oleh Maharaja Asoka, yang terdiri atas tiga himpunan dan disebut dengan Tripitaka. Kemudian konsili keempat berlangsung di kota Jalandra dalam wilayah Punjab (pertemuan lima sungi) kurang lebih tahun 78 M. dibawah prakarsa sekte Sarvastivada, yaitu pecahan mazhab Theravada.
Di sekitar itulah agama Budha terpecah kedalam dua mazhap besar, berdasarkan bibit yang telah tumbuh sebelumnya, yang pokok keyakinan dan pokok ajarannya sudah sangat berbeda. Yaitu Hinayana dan Mahayana.
Sedangkan mengenai perpecahan nampaknya tidak dapat dipungkiri, berawal dari konsili kedua mulai muncul walaupun ditetapkan pada konsili keempat. Karena dari konsili kedua, aliran Mahayana yang diprakarsai oleh Mahasanghika. Muncul setelah ketidakpuasan tehadap ajaran mazhab tradisional yang menganggap sang Budha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para Bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan ajaran Budha demi mengatasi sengsara dan mencapai arahat. Sedang menurut aliran yang diprakarsai oleh Mahasanghika menganggap ini terlalu individualistik dan egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arahat tidak cukup, dan menyatakan bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Budha penuh.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991). Moh Rifai, Icang Sudaryat, Sejarah Agama, Kurikulum 1984 untuk Madrasah Aliah kelas III, (Wicaksana, Semarang, 1987). Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, (Pustaka Alhusna, Jakarta, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar