Skip to main content

Kaidah Penyelesaian Hadis Mukhtalif

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 04, 2013

Dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak saling bertentangan (mukhtalif), Jumhur ulama telah menentukan berbagai cara yang ditempuh secara berurutan untuk menyelesaikannya. Cara menyelesaikan hadis Mukhtalif tersebut dengan jalan al-Jam’u wa al-Taufiq (penggabungan), Nasakh (menghapus), Tarjih (menguatkan salah satu dalil), al-Ikhtilaf min Jihah al-Mubah (dianggap sebagai tata cara ibadah yang berbeda), Tawaqquf (mendiamkan hukum) dan mengembalikan pada hukum asal.
Penyelesaian dengan Cara al-Jam’u wa al-Taufiq
Penyelesaian hadis mukhtalif dalam bentuk ini dilakukan berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaedah ushul, baik dengan cara takhshish (mengkhususkan dalil lain yang bersifat umum), taqyid (membatasi dalil lain yang masih mutlak), takwil (menjelaskan dan mengarahkan maksudnya) maupun dengan cara yang lain.
Secara umum, al-Jam’u berarti mengumpulkan segala sesuatu yang berserakan. Sedangkan yang dimaksud dengan penyelesaian dalam bentuk al-Jam’u wa al-Taufiq dalam pembahasan ini adalah menghilangkan per-tentangan antara dua dalil syara’ dan menggabungkan keduanya dengan cara menakwilkannya atau menjelaskan makna yang terkandung dalam keduanya secara mutlak. Penggabungan ini dilakukan sebab tidak ditemukan indikasi yang menolak penggabungan dua hadis tersebut. Cara penyelesaian ini menjadi prioritas utama para ulama, sebab berdasarkan kaidah ushul yang menyatakan bahwa:
“Mengamalkan dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satunya.”
Dengan mengkompromikan dan menggabungkan hadis-hadis yang bertentangan, bukan berarti cara seperti ini mudah dilakukan dan dianggap mampu menyelesaikan masalah. Sebab, jika penggabungan tersebut dilakukan secara longgar, maka justru akan menambah permasalahan baru. Untuk itu para ulama hadis menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya adalah:
  1. Hadis-hadis yang bertentangan tersebut termasuk kategori hadis yang maqbul.
  2. Penggabungan tersebut tidak berakibat pada batalnya pengamalan dalil syar’i maupun salah satu hadis yang bertentangan tersebut. Karena tujuan utama al-Jam’u adalah mengamalkan kedua hadis tersebut, bukan salah satunya.
  3. Penggabungan tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab dari berbagai aspeknya dan tidak menyalahi tujuan ditetapkannya hukum syara’.
  4. Pertentangan hadis-hadis tersebut tidak bermakna saling bertolak belakang atau saling menafikan.
  5. Yang patut meneliti dan mendalami kegiatan ini adalah para mujtahid yang ahli dalam bidangnya dan memiliki kapasitas yang memadai.
  6. Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka penggabungan tersebut dianggap batal dan tidak berguna.
Penyelesaian dalam bentuk Nasakh
Nasakh berarti diangkatnya suatu hukum syar’i yang telah lalu dengan dalil nash yang datang kemudian yang disertai dengan tenggang waktu antara keduanya. Atau dengan kata lain, naskh adalah pembatalan suatu ketentuan dengan ketentuan lain yang datang kemudian. Penyelesaian dalam bentuk ini dilakukan apabila tidak dapat dicapai kompromi antara hadis-hadis yang bertentangan.
Ada beberapa indikator yang menunjukkan bahawa suatu hadis telah me-nasakh hadis yang lain, di antaranya adalah:
  1. Adanya penjelasan dari Rasulullah bahwa suatu hadis itu telah dinasakh.
  2. Adanya petunjuk dari sahabat tentang hadis-hadis yang dinasakh.
  3. Telah diketahui tarikhnya.
  4. Berdasarkan dalil Ijma
Penyelesaian dalam bentuk tarjih
Penyelesaian hadis-hadis mukhtalif dengan cara tarjih dilakukan jika hadis-hadis tersebut tidak bisa dikompromikan dan tidak pula ditemukan keterangan yang menunjukkan diperbolehkannya nasakh. Adapun yang dimaksud dengan tarjih sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama adalah menampakkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama, dengan sesuatu yang menjadikannya lebih utama daripada yang lain. Hadis-hadis yang bertentangan tersebut kemudian dikaji lebih jauh agar diketahui mana yang lebih kuat dan lebih tinggi ke-hujjah-annya, kemudian diamalkan yang kuat dan ditinggalkan yang lemah.
Penyelesaian dalam bentuk al-Ikhtilaf min Jihah al-Mubah
Yaitu memahami beberapa hadis yang tampak saling bertentangan sebagai cara atau bentuk pelaksanaan ibadah yang bervariasi dan boleh diikuti dengan cara mengumpulkan semua bentuk pelaksanaan tersebut atau mengamalkan secara bergantian. Penyelesaian dalam bentuk ini hanya terbatas pada hadis-hadis yang menyangkut tata cara pelaksanaan ibadah dan hadis tersebut pun termasuk kategori hadis maqbul.
Penyelesaian dalam bentuk Tawaqquf
Penyelesaian dalam bentuk ini berarti mendiamkan atau tidak mengamalkan kedua hadis yang saling bertentangan untuk sementara waktu, sampai terdapat dalil lain yang mengunggulkan salah satunya. Sebagian ulama berpendapat bahwa konsekuensi dari bentuk penyelesaian ini adalah menganggap tidak adanya kedua hadis yang bertentangan tersebut dan mengembalikan semua permasalahan pada kaidah ushul yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu boleh dilakukan, sampai terdapat dalil yang mengharamkannya.
Sebagian ulama yang lain tidak menggunakan bentuk tawaqquf dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif. Hal ini dilakukan sebab tawaqquf berarti mendiamkan permasalahan hukum tanpa ada pemecahannya. Sedangkan mendiamkan suatu peristiwa tanpa adanya penyelesaian hukum termasuk perbuatan yang sia-sia.
Penyelesaian dalam bentuk Takhyir
Yaitu memilih salah satu dalil yang dikehendaki dari kedua hadis yang bertentangan tersebut untuk diamalkan. Metode penyelesaian ini ditempuh apabila tidak mungkin melakukan ketentuan-ketentuan sebelumnya maupun menunggu ketidakpastian hukum. Oleh sebagian ulama, pendapat ini didasarkan pada wajibnya melaksanakan suatu ketentuan hukum yang telah dibebankan pertama kali bagi seorang mukallaf.
Para ulama sependapat bahwa langkah utama dalam menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif adalah mendahulukan cara al-Jam’u wa al-Taufiq. Sehubungan dengan ini, Yusuf al-Qardhawi juga mengatakan bahwa men-jamak dalil Nasakh harus didahulukan daripada men-tarjih, karena menjama’ berarti memberlakukan semua hadis. Sedangkan tarjih berarti mengabaikan sebagian dalil-dalil nash tersebut serta mengutamakan yang lain, dan seterusnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Yasin bin isa al-Fadani, Al-Fawa 'id al-Janiyyah, (Dar al-Fikr, Beirut, 1996). Abd al-Hamid bin Muhammad al-Quds, Latha'if al-Isyarat, (Toha Putra, Semarang, t.th). Muin Umar dkk, Ushul Fiqh I, (Departemen Agama RI, Jakarta, 1985). Abd al-Lathif ‘Abd al-Aziz al-Barzanji, Al-Ta'arudh wa al-Tarjih bain al-Adillah al-Syar’iyyah, (Dar al-Kutub al-ilmiah, Beirut, 1993). Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Dar al-Ma’arif, Mesir, 1986). Utsman bin Abd al-Rahman (Ibnu al-Shalah), Muqaddimah Ibn al- Shalah fi ‘Ulum al-Hadis, (Dar al-Kutub al-ilmiah, Beirut, t.th). Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis, dalam Muhammad Ahmad ‘Abd al-Aziz (Ed), (Dar al-Kutub al-ilmiah, Beirut, 1986). Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiah, (Dar al-Fikr, Beirut, t.th.). Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Bulan Bintang, Jakarta, 1992). Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, Terj. Muhammad al-Baqir, (Karisma, Bandung, 1993). Ahmad Muhammad Syakir, Al-Ba’its al-Hatsits, (Dar al-Fikr, Beirut, t.th).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar