Skip to main content

Pengertian Rausyanfikr

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 27, 2012

Rausyanfikr adalah kata Persia yang artinya “pemikir yang tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau enlightened thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya, rausyanfikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya.
Sejak belahan kedua abad ke-19, di Iran dikenal istilah rausyanfikr yang secara harfiyah diartikan sebagai “pemikir yang tercerahkan”. Tapi secara historis istilah itu menunjuk pada pengertian umum tentang kaum intelektual sekuler yang yang tumbuh di Iran pada waktu istilah itu mulai dipakai, yaitu kaum terpelajar didikan Barat yang sekaligus mengagumi dan dipengaruhi oleh para filosof Eropa abad ke-1 8 yang dikenal sebagai abad pencerahan.
Pengertian Rausyanfikr pada mulanya terbatas. Kaum intelektual yang berpaham modernis dan berkecenderungan liberal, yang bekerja dan berfikir secara professional, tetapi terpanggil untuk melakukan perubahan-­perubahan politik, sosial maupun kultural. Sehingga dengan sendirinya, kelompok ini berbeda dan membedakan diri dari mereka yang disebut Mullah atau ahli-ahli ilmu agama, yang di lingkungan dunia Islam dikenal sebagai ulama. Pembedaan seperti itu juga tidak asing di Indonesia. Kita mengenal kelompok “kyai” atau “ulama” di satu pihak dan “cendekiawan” atau “intelegensia” di lain pihak.
Tapi, apakah para mullah atau ayatullah yang aktif dalan revolusi dapat disejajarkan dengan pemuka agama pendukung kekuasaan. Kedua kelompok itu malah mengandung ciri yang berkebalikan. Karena itu menjelang tahun 1978, pengertian rausyanfikr telah berubah atau berkembang, mencakup juga para ulama dan ahli-ahli ilmu agama yang terlibat dalam gerakan revolusi. Untuk mereka ini ada predikat tambahan, sehingga menjadi Alim-i Rausyanfikr.
Berkaitan dengan hal itu, Jalaluddin Rahmat membedakan sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang lulus dari Perguruan Tinggi dengan membawa gelar. Jumlahnya banyak, karena setiap tahun universitas memproduksi sarjana. Ilmuwan adalah orang yang mendalami ilmunya, kemudian mengembangkan ilmunya, baik dengan pengamatan maupun dengan analisisnya sendiri. Di antara sekian banyak sarjana, beberapa orang sajalah yang kemudian berkembang menjadi ilmuwan. Sebagian besar terbenam dalam kegiatan rutin, dan menjadi tukang professional.
Bagi Ali Syari’ati, tidak semua yang tercerahkan adalah intelektual, dan tidak semua intelektual peraih gelar akademis adalah orang yang tercerahkan. Yang dimaksud “tercerahkan atau rausyanfikr” adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung jawab sosial. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tangung jawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Karena hanya kesadaran dirilah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Peranan yang dimainkan rausyanfikr berbeda dengan peranan filosof. Seorang filosof, Aristoteles misalnya, tidak memiliki tipe kesadaran dan keyakinan seperti di atas. Aristoteles bukanlah seorang rausyanfikr, karena ia tidak memprakarsai gerakan sosial atau revolusi satupun dalam masyarakatnya, di samping tidak pernah mencoba membangkitkan kesadaran massa yang menderita terhadap fakta-fakta masyarakat mereka.
Untuk pengertian ini, al-Quran sebenarnya mempunyai istilah khusus tentang rausyanfikr, yaitu ulul albab. Ulul albab tidak jauh berbeda dengan seorang rausyanfikr Apabila kita perhatikan tanda-tanda ulul albab tersebut sama dengan ciri-ciri dari rausyanfikr sebagaimana disebutkan oleh Ali Syari’ati, yakni orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya yang memberinya rasa tanggung jawab social. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab, yang tujuan dan tanggung jawab utamanya adalah membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri” dari rakyat jelata. Karena hanya kesadaran dirilah yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bodoh menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah­Masalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). M. Dawam Raharjo, Ali Syari ’ati; Mujtahid-Intelektual, dalam Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, (Bandung: Mizan, 1988). Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam in Transition: Muslim Perspective, (New York: Oxford University Press, 1982). Jalaluddin Rahmat, Ali Syari ’ati: Panggilan untuk Ulil Albab dalam Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, (Bandung: Mizan, 1992).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar