Skip to main content

Konsep Ma'rifat Menurut al-Ghazali

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 29, 2012

Dalam dunia tasawuf, al-Ghazali sangat terkenal dan populer dengan konsep ma’rifah sebagai jalan untuk mengenal Allah. Secara jelas al-Ghazali menguraikan ma’rifah sufi sehingga teori tentang ma’rifah dapat dipandang sebgagai teori lengkap dan komperhensif dibanding dengan teori sufi sebelumnya
Perbedaan al-Ghazali dengan para sufi sebelumnya, adalah karena dia telah menjadikan tasauf sebagai jalan mengenal Allah bahkan segala sesuatu dalam arti yang hakiki. al-Ghazali pun memandang ma’rifah sebagai tujuan akhir yang harus dicapai manusia, yang sekaligus merupakan kesempurnaan tertinggi yang didalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Tetapi apa yang disebut al-Ghazali dalam konsep ma’rifah sedikit berdeda atau merupakan pengembangan dari konsep para sufi sebelumnya. Ia tidak hanya membicarakan pengenalan langsung akan Allah sebagaimana sufi sebelumnya, tetapi termasuk juga semua pengenalan langsung terhadap alam semesta ini.
Menurut al-Ghazali sarana ma’rifah seorang sufi adalah qalbu, bukan perasaan dan bukan pula akal budi. Dalam konsep ini, qalbu bukanlah segumpal daging yang terletak pada bagian kiri dada manusia, tetapi ia merupakan semacam “radar” dan sebagai daya rohaniah ketuhanan. Qalbu bagaikan cermin sementara ilmu adalah pantulan gambar relitas yang termuat di dalamnya. Maka jika qalbu yang berfungsi sebagai cermin tidak bening ia tidak akan memantulkan realitas-realitas ilmu jadi qalbu harus senatiasa bening dengan jalan ketaatan kepada Allah dan kemampuan menguasai hawa nafsu.
Menurut al-Ghazali, hati (qalb) memang perlu disucikan karena ia media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hati memiliki Dua pintu salah satunya menghadap keluar dan yang lainnya menghadap ke dalam, pintu yang menghadap kedua luar dapat menangkap pengetahuan melalui panca indra. Sementara pintu yang menghadap ke dalam akan menangkap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ghaib, pengetahuan dari alam gaib berupa nur ilahi. Dimana hati bisa seperti cermin apabila berhasil disucikan dari kotoran-kotoran duniawi sehingga mampu menangkap cahaya ilahi atas dasar inilah al-Ghazali mengeluarkan statement
من عرف قلبه فقد عرف نفسه ومن عرف نفسه فقد عرف ربه
Inilah yang disebut al-Ghazali sebagai ma’rifah. Ma’rifah menurutnya adalah tujuan akhir yang harus dicapai manusia sekalipun merupakan kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki. ma’rifah bukan hanya sekedar pengenalan biasa tetapi berupa ilmu yang tidak diragukan kebenarannya atau al-‘ilm al-yaqin, ilmu yang menyakini sehingga dengannya dapat diketahui rahasia Allah dan peraturan-peraturannya tentang segala yang ada.
Al-Ghazali berpandangan bahwa kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh para ilmuan dan filosot. Para sufi menyaksikan sesuatu melaui nur yang dipancarkan tuhan kepada orang yang dikehendakinya. Nur itu adalah kunci ma’rifah. Ma’rifah yang sebenarnya menurut al-Ghazali, didapatkan melalui nur yang dipancarkan tuhan ke dalam qalb seseorang agar mengenali hakikat Allah dan segala ciptaannya. Qalbu yang bersihlah yang dapat menerima nur dari Allah, syaratnya adalah mensucikan diri dari dosa dan tingkah laku tercelah, qalbu harus total berzikir kepada Allah sehingga seorang menjadi fana’ (sirna) secara total kepada ilahi. Hasil yang didapatkan adalah muka>syafah dan musya>hadah. Akhirnya seseorang sampai kepada peringkat yang begitu dekat dengan tuhan.
Orang yang mempunyai ma’rifah tentang tuhan (arif) tidak akan mengatakan ya Allah ((يا الله atau ya Rabb (يا رب) karena memanggil tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan, bahwa tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil dengan panggilan tersebut.
Proses menuju ma’rifah tidaklah mudah, seorang sufi diharuskan melewati tahapan-tahapan lainnya yang dalam terminology sufisme disebut al-Maqamat al-Ghazali dalam hal ini mengemukakan enam makam yang ditempuh seorang sufi sebelum mencapai ma’rifah. Diantaranya: taubat, sabar, kefakiran, zuhud dan tawakkal. Tetapi bagi al-Ghazali, ma’rifah lebih dahulu dalam tertib dari pada Mahabbah karena mahabbah timbul dari ma’rifah dan mahabbah bagi al-Ghazali bukan mahabbah sebagaimana dipahami oleh Rabi’ah al-Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat tuhan kepada manusia yang member manusia hidup dan rezeki kesenangan dan lain-lain.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Rivay Siregar, Tasauf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II (Cet. V; Jakarta: UI Press, 1986). Abu Hamid Al-Ghazali,, Ihya U’lum al-Din, Jilid III (Beirut Dar al-Kutub al-Islami, t.th). Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Shaleh, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo, 2000).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar