Skip to main content

Sejarah Perkembangan Bayani

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 25, 2012

Pengertian bayani berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada didalamnya. Pada masa Syafii (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu`). Sedang dari segi metodologi, Syafii membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Quran sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan, Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran, Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran maupun sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, al-Syafii kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushûl) ada tiga, yakni al-Quran, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.
Kemudian pada periode berikutnya muncul al-Syatibi yang kemudian menawarkan teori untuk memperbaharui bayani yaitu dengan konsep maqasid al-Syariah yang berarti bahwa diturunkannya syariah ini karena mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu menurut al-Syatibi terbagi dalam tiga macam, yaitu; dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah.
Dharuriyah ialah segala hal yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Hajiyah adalah tidak termasuk kebutuhan yang esensial, melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya.
Tahsiniyah adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu tersebut tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tatakrama dan kesopanan.
Pada tahap ini, metode bayani lebih sempurna dan sistematis,dimana proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu’ pada ashl tetapi bagaimana memahami maksud dari penetapan syariat.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar