Skip to main content

Metode Jadal dalam al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 24, 2012

Metode Jadal dalam Al-Quran tidak memakai cara yang telah dipertahankan oleh para ahli kalam yang menggunakan metode jadal yang memerlukan adanya muqaddimah (premis) dan natijah (konklusi). Misalnya, cara ber-istidlal (inferensi) dengan sesuatu yang sifatnya kully (Universal) terhadap juz’iy (parsial) dalam qiyas syumul, atau mengambil dalil dengan salah satu juz'iy terhadap yang lain dalam qiyas tamtsil danatau ber-istidlal dengan juz’iy terhadap kully dalam qiyas istiqra'.
Manna' al-Qaththan memberikan 3 alasan tentang metode Jadal ini sebagai berikut:
Al-Quran turun dalam bahasa Arab yang mengajak mereka dengan bahasa yang mereka pahami.
Bersandar pada fitrah jiwa, yang meyakini pada apa yang disaksikan dan dirasakan, tanpa perlu penggunaan pemikiran mendalam dalam ber-istidlal lebih kuat pengaruhnya dan lebih efektif hujjah-nya.
Meninggalkan pembicaraan yang jelas, dan mempergunakan tutur kata yang sukar dan pelik, adalah merupakan kerancuan dan teka-teki yang hanya dapat dimengerti oleh kalangan ahli (khas). Cara ini sering dipakai oleh para ahli mantiq (logika), walaupun ini tidak sepenuhnya benar. Dalil-dalil tentang tauhid serta kehidupan diakhirat yang terungkap dalam al-Quran adalah sesuatu tertentu yang dapat memberikan makna yang ditunjukkan secara langsung tanpa memasukkannya kedalam qadliyah kulliyah (universal proposition).
Ibnu Taimiyah menyatakan mempertegas persoalan metode Jadal ini dalam kitabnya al-radd 'ala al-manthiqiyyin:
"Dalil-dalil analogi yang dikemukakan para ahli debat, yang mereka namakan 'bukti-bukti' (barahin) untuk menetapkan adanya Tuhan, sang pencipta yang maha suci dan maha tinggi itu, sedikit pun tidak dapat menunjukkan essensi zat-Nya. Tetapi hanya menunjukkan sesuatu yang mutlak dan universal yang konsepnya itu sendiri tidak bebas dari kemusyrikan. Ketika kita mengatakan, ini adalah muhdats (baru) dan setiap yang muhdats pasti mempunyai muhdits (pencipta); atau ini adalah sesuatu yang mungkin dan setiap yang mungkin harus mempunyai yang wajib. Pernyataan seperti ini hanya menunjukkan muhdits mutlak atau wajib multak… Konsepnya tidak bebas dari kemusyrikan" … selanjutnya ia mengatakan: "Argumentasi mereka ini tidak menunjuk kepada sesuatu tertentu secara pasti dan spesifik, tidak menunjukkan wajib al-wujud atau yang lain. Tetapi ia hanya menunjuk kepada sesuatu yang kully, pada hal sesuatu yang kully itu konsepnya tidak terlepas dari kemusyrikan. Hal ini berbeda, sebagaimana ayat ayat yang dikemukakan seperti dalam surat al-Baqarah (2:164) disebutkan :
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan."
Az-Zarkasyi menyatakan sehubungan perbedaan dalam metode Jadal; "Ketahuilah bahwa Quran telah mencakup segala macam dalil dan bukti. Tidak ada satu dalil pun/ defenisi mengenai sesuatu berupa persepsi akal juga dalil naqiI yang menyeluruh kecuali telah di muat dalam kitabullah. Akan tetapi dikemukakan dengan menurut adab dan kebiasaan bangsa Arab. Dan tidak seperti yang diuraikan oleh para ahli Ilmu Kalam." Hal ini disebabkan oleh dua alasan ;
Pertama, mengingat firman Allah dalam surah Ibrahim (14:4)
"Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya,
Kedua, bahwa orang yang cenderung menggunakan argumentasi yang sukar dan pelik itu sebenarnya ia tidak sanggup menegakkan hujjah dengan kalam agung. Sebab, orang yang mampu memberikan pengertian (persepsi) tentang sesuatu dengan cara yang lebih jelas yang bisa dipahami sebagian besar orang. Oleh karena itu, Allah memaparkan seruan-Nya dalam bentuk argumentasi paling agung yang meliputi juga bentuk paling pelik, agar orang awam dapat memahami hujjah yang jelas dalam al-Quran, begitu juga sisi sulitnya dapat dipahami oleh pemahaman para sastrawan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hasbi al-Shiddiqy, Ilmu-ilmu al-Quran, (Cet II, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2002). Al-Zarkasyi, al-Burhan di 'ulum al-Quran (Kairo: Mawqi' Maktabah al-Madinah al-Raqamiyyah, tth), jilid 2.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar