Skip to main content

Kritik Popper terhadap Analisis Linguistik

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 14, 2012

Para analis bahasa percaya bahwa tak ada persoalan-persoalan filosofis yang sejati (genuine), atau bahwa persoalan-persoalan filsafat, sekiranya ada, adalah persoalan-persoalan pemakaian linguistik atau makna kata-kata. Akan tetapi Popper percaya bahwa sedikitnya ada satu persoalan filosofis yang menarik bagi semua orang yang berpikir. Persoalan itu ialah persoalan kosmologi: persoalan pemahaman dunia-termasuk diri kita, dan pengetahuan kita. Pooper percaya, semua ilmu adalah kosmologi, dan baginya minat terhadap filsafat dan juga ilmu justru terletak pada sumbanga-sumbangan yang telah mereka berikan pada persoalan-persoalan itu. Bagaimanapun juga, baik filsafat maupun ilmu akan kehilangan daya tariknya jika mereka menghentikan percarian tersebut. tak dapat disangkal, memahami fungsi-fungsi bahasa adalah bagian filsafat yang penting; tetapi bukan sekedar menerangkan persoalan-persoalan manusia semata-mata sebagai ‘teka-teki’ linguistik belaka.
Jika kita mengabaikan apa yang sedang dipikirkan orang lain, atau yang telah dipikirkan di masa lampau, maka diskusi rasional pasti berakhir sekalipun masing-masing orang mungkin terus berbicara kepada diri sendiri dengan bahagia. Beberapa filsuf telah membuat suatu kebajikan (virtue) dalam berbicara kepada diri mereka sendiri; barangkali karena merasa bahwa tak ada orang lain yang cukup pantas untuk diajak bicara. Popper khawatir, praktek berfilsafat pada taraf yang agung ini menjadi pertanda kemunduran diskusi rasional. Tak diragukan lagi Tuhan berbicara terutama kepada diriNya sendiri karena ia tidak mempunyai suatu apapun yang pantas untuk diajak biacara. Namun, para filsuf harus mengetahui bahwa mereka tidak lebih ilahiah daripada orang lain.
Keyakinan analisis linguistik adalah metode filsafat sejati, menurut Popper meluas karena beberapa alasan historis. Satu dari dari alasan tersebut adalah keyakinan yang tepat bahwa paradoks-paradoks logis, seperti paradoks si pendusta (“sekarang saya sedang berbohong”), membutuhkan metode analisis linguistik untuk pemecahannya, bersama pembedaan yang terkenal antara ungkapan-ungkapan linguistik yang bermakna dan yang tak bermakna. Keyakinan yang tepat ini kemudian digabungkan dengan keyakinan yang menurut Popper keliru bahwa persoalan-persoalan tradisional filsafat muncul dari usaha memecahan paradoks-paradoks filosofis yang strukturnya analog dengan paradoks-paradoks logis itu, sehingga pembedaan antara pembicaraan yang bermakna (meaningful talk) dengan yang tak bermakna (meaningless) pastilah hal yang sangat penting juga bagi filsafat.
Alasan utama untuk memuja metode analisis linguistik, tampaknya karena hal berikut ini. Pada waktu itu dirasakan bahwa apa yang disebut ‘cara baru ide-ide’ (new way of ideas) Locke, Berkeley, dan Hume, yakni metode psikologis atau lebih tepatnya pseudo-psikologis yang menganalisis ide-ide kita dan asal-usulnya dalam indera kita, harus digantikan dengan metode ‘objektif’ dan metode yang kurang genetis. Pada waktu itu dirasakan bahwa orang harus menganalisis kata-kata dan makna-maknanya atau penggunaanya kepada timbang ‘ide-ide’ atau ‘konsepsi-konsepsi’ atau ‘pengertian-pengertian’; bahwa orang harus menganalisis proposisi-proposisi atau pernyataan-pernyataan atau kalimat-kalimat ketimbang ‘pemikiran-pemikiran’ atau ‘kepercayaan-kepercayaan’ atau ‘putusan-putusan.
Menurut Popper, persoalan epistemologi dapat didekati dari dua sisi, sebagai persoalan biasa atau pengetahuan akal-sehat dan sebagai persoalan pengetahuan ilmiah.
Para filsuf yang mendukung pendekatan pertama berpikir bahwa pengetahuan ilmiahanya dapat menjadi suatu perluasan pengetahuan akal sehat, dan mereka juga menyangka dengan keliru, bahwa dari kedua hal itu, pengetahuan akal-sehat lebih mudah dianalisis. Dengan begini para filsuf menggantikan ‘cara baru ide-ide’ tersebut dengan analisis terhadap bahasa biasa (ordinary language) – bahasa yang di dalamnya pengetahuan akal-sehat dirumuskan. Mereka mengantikan analisis terhadap visi atau persepsi atau pengetahuan tersebut dengan analisis terhadap frasa ‘aku melihat’ atau ‘aku mencerap’, atau ‘aku tahu’, ‘aku percaya’, ‘aku melihat bahwa ini mungkin’.
Kepada orang yang mendukung pendekatan ini bagi teori pengetahuan, Popper menjawab: “walaupun saya setuju bahwa pengetahuan ilmiah hanyalah suatu pengembangan pengetahuan biasa (ordinary knowledge) atau pengetahuan akal-sehat (common sense knowledge), saya berpendapat bahwa persoalan-persoalan epistemologis yang paling penting dan menarik salah satunya adalah persoalan pertumbuhan pengetahuan manusia, pasti tetap tak terlihat sama sekali oleh orang yang membatasi dirinya pada analisis pengetahuan biasa atau akal sehat atau perumusannya dalam bahasa biasa. Sedikit renungan akan menunjukkan bahwa sebagian besar persoalan yang berhubungan dengan pertumbuhan pengetahuan manusia pasti selalu lebih penting daripada studi apapun yang dibatasi pada pengetahuan akal-sehat sebagai lawan dari pengetahuan ilmiah. Karena cara yang paling penting bagaimana pengetahuan akal-sehat bertumbuh, persisnya, adalah dengan kembali kepada pengetahuan ilmiah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Karl R. Popper,. Logika Penemuan Ilmiah. Diterjemahkan oleh M. Mustafied dari Buku Asli “The Logic of Scientific Discovery”. (Cet; I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar