Skip to main content

Hubungan antara Darurat, Ikrah, dan Rukhshah

Oleh: AnonymousPada: June 23, 2012

Antara darurat, ikrah, rukhshah, (sebagai bahan referensi, arti singkat dalam bahasa Indonesia adalah, darurat, terpaksa, dan kesempatan) dan hajat terdapat hubungan yang sangat erat, sehingga tidak jarang mengalami kekaburan serta kesulitan untuk membedakannya dalam kapasitasnya sebagai pertimbangan penetapan hukum. Oleh sebab itu, pada pembahasan ini perlu dijelaskan pengertian masing-masing dan perbedaab di antara mereka.
Antara darurat dengan ikrah
Secara esensi terdapat kesamaan makna antara darurat dengan ikrah, yaitu bagi keduanya mengandung unsur keharusan untuk berbuat sesuatu. Bahkan ‘Abd al-Wahhab Khallaf memasukkan ikrah ini ke dalam katagori darurat. Dalam keadaan darurat mengharuskan seseorang untuk menghadapi bahaya serta baginya tidak mempunyai kesempatan untuk menghindarinya kecuali mengerjakan suatu perbuatan tertentu (yang diharamkan). Misalnya: keharusan memakan makanan yang diharamkan oleh syarak, karena keadaan lapar yang mengancam terhadap kelangsungan jiwa.
Behitu juga ikrah (keadaan terpaksa) yaitu seseorang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang tidak diridhai atau disenanginya. Semua perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk melindungi dirinya dari pihak yang memaksa, yang akan berakibat pada bahaya bagi dirinya atau pun anggota tubuhnya, misalnya dibunuh atau dipukul.
Dari sini dapat dilihat, bahwa perbedaan antara darurat dan ikrah adalah terletak pada sumber munculnya bahaya. Dalam darurat, bahaya itu bersifat alami tenpa adanya intervensi dari orang lain. Sedangkan ikrah, bahaya yang muncul disebabkan oleh perbuatan orang lain yang bersifat memaksa terhadap mukrah (orang yang dipaksa) untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Namun, keduanya mempunyai akibat hukum yang sama yaitu adanya kebolehan untuk melakukan perbuatan yang dilakukan oleh syarak (berpaling dari hukum asli).
Antara darurat dengan rukhshah
Secara bahasa, rukhshah arti keringanan dan kemudahan. Sedangkan secara istilah rukhshah mempunyai arti hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah sebagai keringanan atas mukalaf (orang yang dibebani) dalam kondisi-kondisi tertentu yang menuntut adanya keinginan tersebut. Atau dengan ungkapan lain hukum yang disyariatkan tersebut karena ada alasan uzur (kesulitan), sehingga dibolehkan untuk melakukan perbuatan yang dilarang.
Ulama Syafi’iyyah membagi rukhshah ini menjadi empat bagian, yaitu rukhshah wajibah, mandubah, mubahah, dan rukhshah yang melanggar pada hukum yang lebih utama (khilaf min ‘aula). Dalm kaitan dengan ini, darurat merupakan bagian utama dari rukhshah yang ditempatkan pada derajat rukhshah wajibah. Kenyataan ini diperkuat oleh pernyataan ulama ushul yang tidak pernah memakai rukhshah wajibah, keciali dengan darurat. Sebagaimana dilihat dari contoh-contoh yang diajukan yang mengizinkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam rangka menghindari kerusakan.
Jika dilihat bahwa makna rukhshah sama dengan darurat. Karena pada dasarnya rukhshah ini ditetapkan sama dengan darurat yaitu untuk menghilangkan kesulitan dan memberikan kemudahan bagi manusia.
Antara darurat dengan hajat
Darurat dan hajat adalah bagian dari rukhshah. Akan tetapi antara mereka ditinjau dari segi unsur dan akibatnya terdapat perbedaan. Perlu atau tidaknya sebuah darurat difungsikan, didasarkan pada adanya kekhawatiran timbulnya kerusakan, apabila suatu keadaan diteruskan. Sedangkan hajat didasarkan pada munculnya bahaya. Darurat muncul dalam keadaan bahaya yang sangat mengancam, yang tidak ada cara lain untuk menghindarinya, kecuali dengan melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkannya. Adapun hajat ialah keadaan yang menimbulkan terjadinya kesukaran (masyaqqah) yang kebolehannya hanya terbatas pada menghilangkan kesulitan itu.
Apabila dibuat semacam perbandingan, bahwa derajat hajat berada di bawah darurat, di mana hajat hanya mengurangi dari hukum asal, sedangkan darurat menghilangkannya. Atau dapat dikatakan daurat adalah necessity dan hajat adalah need, sehingga istilah darurat menunjukkan kepada keadaan yang lebih mendesak.
Kepustakaan:
Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Mesir: Dar al-Qalam, 1978). Ahmad Husariy, Nazhariyyah al-Hukm wa Mashadir al-Tasyri’ fiy Ush­l al-Fiqh al-Islamiy (Bair­t: Dar al-Kutub al-‘Arabiy, 1986). Umar ibn al-Husain al-Raziy, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Jilid I (Bairut: Dar al-‘Ilmiyah, t.th.). Abdullah ibn Hamid, Raf’ al-Haraj fiy al-Syari’ah al-Islamiyyah (T.tp.: t.p., t.th.). Yusuf al-Qarawiy, Keluwesan dan Keluasan Syari’at Islam dalam Menghadapi Perubahan Zaman (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996). Muhammad Muslehuddin, Hukum Darurat dalam Islam, terjemahan Ahmad Tafsir (Bandung: Pustaka, 1985).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar