Skip to main content

Konsep Jiwa (al-Nafs) Menurut al-Farabi

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: March 08, 2012

Al-Farabi menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir1menurut dia jiwa ada dalam tubuh manusia, memancar dari akal kesepuluh. Dari akal kesepuluh ini pulalah memancar bumi, roh, api udaradan tanah.

Dalam persoalan jiwa ini Al-Farabi mencoba melakukan sintesa antara pendapat Plato dengan Aristoteles. Menurut Plato, jiwa itu ia sesuatu yang berbeda dengan tubuh, ia adalah substansi rohani. Sedangkan menurut Aristotelis, jiwa adalah bentuk tubuh. Dalam hal ini, Al-Farabi mencoba mencari jalan kompromis antara kedua pendapat yang berbeda di atas. Menurut dia, jiwa itu berupa substansi dalam dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh.2

Tampak dengan jelas betapa Al-Farabi mengambil teori substansi dari plato dan teori bentuk dari Aristoteles Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak.

Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi.

Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.3 Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.4

Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.5

Untuk dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa.6 Tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral sama-sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna.

Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi berhajat kepada materi.7 Al-Farabi sendiri dalam kehidupannya sebagai seorang sufi dan filosof menyimpan jiwa kesufiannya sangat mendalam dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta dalam kezuhudan kehidupan. Ia menjadikan kesucian jiwa sebagai asas dalam berfilsafat yang benar.8

Menurut Al-Farabi kebahagiaan mengandung kelezatan yakni kelezatan jasmani dan akli. Kelezatan jasmani hanya sebentar, mudah diperoleh dan cepat hilang. Sedangkan kelezatan akli awet dan inilah tujuan hidup hakiki manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut manusia perlu mengembangkan daya pikir yang benar, mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta punya kemauan keras. Memiliki keutamaan hasil pemikiran teoritis, pemikiran praktis, sikap mental yang benar dan perbuatan yang benar.

Referensi Makalah®  
Kepustakaan:
[1] [1] T. J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, (New York: Dover Publication Inc, 1967).,h.107
[2] Ibrahim Madkûr, Fī Al-Falsafah al-Islâmiah Manhaj wa Taţbiquh, diterjemahkan oleh Yulian Wahyudi Asmin & A. Hakim Mudzakir dengan judul Falsafat Islam, Metode dan Penerapan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Pers, 1993), h.227
[3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h.29
[4] M. M. Syarif, History of Muslim Philisophy, penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h.70
[5] Harun Nasution, op. cit., h. 30
[6] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), lihat Harun Nasution, loc. cit.
[7] Taufiq Abdullah (et al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban jilid IV, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 192
[8] Muhammad Al-Baha, Al-Janib al-Ilahy Min al-Tafkir al-Islamy, (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiy, 1977), h. 377
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar