Skip to main content

Hukum Alam dalam Tinjauan Filosofis

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 13, 2012

Hukum alam adalah penjelasan-penjelasan universal yang memuat kondisi dan syarat tertentu yang berkaitan dengan kejadian yang mesti, pasti berlaku dan sesuatu yang mustahil tidak terjadi. Hukum dan aturan universal tersebut dijabarkan dalam bentuk seperti X mesti menjadi Y atau X yang mencipta Y. Bentuk penjabaran aturan tersebut dimulai dari abad 18 hingga awal abad 20 dan segala sesuatu dihukumi berdasarkan aturan tersebut. Realitas yang terjadi di dunia mengikuti secara pasti hukum-hukum alam yang mereka sebut dengan "kemestian hukum-hukum fisika". Tetapi dengan hadirnya teori Kuantum pada abad 20 M, sebagian ahli berkeyakinan bahwa hukum-hukum yang mendasari kejadian alam atau sebagian dari hukum-hukum tersebut bersifat tak pasti, maka dari itu kondisi dan syarat dalam hukum alam yang dikatakan pasti tersebut lantas berubah menjadi sesuatu yang bersifat mungkin, jadi kandungan hukum alam memuat berbagai aturan yang mungkin terjadi dan mungkin tak terjadi.
Pengertian tentang "perubahan dan pembalikan hukum alam" dijelaskan dengan baik oleh Richard Swinburne. Pertama-tama ia memperkenalkan delapan hukum universal yang berlaku di alam dan di pikiran manusia. Hukum tersebut memiliki sisi "yang tak pasti" artinya hukum itu sendiri menjelaskan sesuatu yang tak pasti terjadi di alam. Dia berkata tentang makna "perubahan hukum alam" dalam konteks mukjizat bahwa secara hakiki peristiwa itu mustahil terjadi karena alasan dari salah satu hukum-hukum tersebut. Misalnya, mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan yang tak empiris berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan jika manusia secara pasti mengetahui akan terjadinya suatu peristiwa, maka dia harus menyimpulkan hal itu berdasarkan ilmu tentang hukum-hukum universal dan ilmu tentang peristiwa khusus yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang atau dia terpaksa menerima suatu hasil analisa peristiwa, rekaman peristiwa dan informasi tentang perbuatan yang dikerjakan orang lain.
Sementara perbedaan pandangan antara David Hume dan Aquinas karena perbedaan perspektif dalam masalah substansi alam dimana Aquinas berpandangan tentang forma-forma spesis (as-shuwar an-nau'i) segala sesuatu dan David Hume mengikuti pandangan Newton tentang hakikat alam dimana dia menggunakan konsep-konsep teoritis tentang materi dan kekuatan dalam menganalisa fenomena-fenomena alam yang terjadi. Di samping itu, perbedaan mereka juga karena Thomas Aquinas menggagas tentang keteraturan mutlak Ilahi dan sebab-sebab pertama serta menganggap keteraturan alam materi ini merupakan perpanjangan dari keteraturan mutlak Ilahi tersebut. Sebenarnya, segala fenomena dan peristiwa yang terjadi di alam materi ini merupakan pengaruh darinya dan terkadang disebut juga sebagai sebab-sebab kedua yang bersesuaian dengan kehendak dan irâdah Tuhan. Maka dari itu, setiap kali Tuhan berkehendak maka seketika tercipta lagi sebab-sebab lain (baca: sebab-sebab kedua) dan mengganti sebab-sebab yang telah lalu ataukah Tuhan yang langsung menghadirkan fenomena-fenomena di alam ini tanpa menggunakan perantara sebab-sebab kedua tersebut. Tapi karena David Hume, mengikuti paham rasionalitas empiris, sangat sulit dia menerima pandangan Aquinas tentang keteraturan mutlak Tuhan, oleh karena itu mukjizat dianggap sebagai suatu fenomena yang merubah dan merombak hukum alam serta tidak dipengaruhi oleh faktor yang tersembunyi.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Legenhausen, The Contemporary Revival of the Philosophy of Religion in the United States, Al-Tawhid Quarterly Journal of Islamic Tought and Culture, vol. XII, no. 1.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar