Skip to main content

Pendapat Syaikh Murthadha Muthahhari tentang Nikah Mut'ah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 06, 2012

Murthadha Muthahhari dikenal sebagai ulama dan tokoh Syiah. Atas predikat tersebut, jelas bahwa Murthadha Muthahhari menganggap bahwa nikah mut’ah hukumnya halal. Dalam menanggapi tindakan Umar, beliau berpendapat bahwa pengaruh kepribadian khalifah Umar membuat rakyat dalam mengikuti cara hidupnya serta sikap politik pemerintahnya merupakan penyebab hukum perkawinan mut’ah yang bersifat pendamping bagi perkawinan permanen dan merupakan sarana untuk menyingkirkan kesusahan dan kepedihan telah ditinggalkan selama-lamanya.

Itulah sebabnya para imam Syi’ah selalu mendorong, meyakinkan, dan mengingatkan umat supaya sunnah Islam ini jangan terlupakan dan ditinggalkan. Imam Ja’far Shadiq mengatakan salah satu urusan yang saya tidak mau mendiamkannya adalah soal mut’ah.
Dengan pernyataan tersebut Murthadha Muthahhari menyesalkan tindakan Khalifah Umar karena pengaruhnya, kepribadian dan sikap politiknya menyebabkan umat meninggalkan nikah mut’ah yang merupakan pendamping dari nikah permanen dan merupakan sarana untuk menghindari kesulitan.
Selanjutnya Muthahhari berpendapat bahwa para imam dalam mendorong dan membujuk umat untuk berbuat sesuai dengan hukum mut’ah sama sekali bukan untuk menjadikan sebagai sumber kebebasan syahwat, atau menjadi penyebab kesengsaraan wanita yang terlantar dan membuat anak-anak tak mempunyai pelindung. Tetapi tujuan para imam adalah untuk menghidupkan kembali sunnah Rasul yang secara keliru ditinggalkan agar semua orang tahu dan mengerti akan kedudukan syari'at yang sesungguhnya.
Mengenai wali nikah, Murthadha Muthahhari menjelaskan bahwa dalam Islam telah ada hal-hal yang sudah pasti. Menurut dia anak laki-laki maupun anak perempuan bebas dalam mengatur ekonominya. Harta milik mereka diserahkan kepada mereka bila mereka telah mencapai usia dewasa, berakal sehat dan telah matang cara berfikirnya. Dari segi sosial telah matang mentalnya untuk menjaga harta milik mereka. Ayah, ibu, suami, saudara dan siapa saja tidak berhak campur tangan. Dalam hal perkawinan, anak laki-laki yang sudah dewasa dan berakal sehat disamakan dengan anak perempuan yang sudah janda, yakni bebas untuk menentukan pilihannya. Tidak seorangpun dapat campur tangan. Terhadap yang gadis maka ayah tidak boleh mengawinkannya tanpa persetujuannya. Ditambahkannya pada waktu Ali bin Abi Thalib melamar Fatimah, nabi berkata: “Beberapa orang telah datang kepadaku untuk melamar Az-Zahra, tetapi kelihatan diwajahnya ia menolak. Sekarang aku sampaikan lamaranmu kepadanya.” Kali ini Fatimah tidak menggelengkan kepalanya. Dan dia hanya diam tanda setuju. Nabi-pun keluar dengan mengucapkan takbir, Allahu Akbar.
Seorang wanita menikah dengan seorang pria tanpa persetujuan ayahnya bukan berarti seorang wanita dipandang berkekurangan dalam suatu segi. Kalau demikian halnya, maka apakah bedanya seorang janda yang berumur enam belas tahun tidak memerlukan persetujuan ayahnya, sedangkan gadis yang berumur delapan belas tahun harus mendapat izin dari ayahnya. Sekiranya dalam pandangan Islam wanita dianggap tidak mampu mengurus urusannya sendiri, mengapa Islam mengakui kebebasan wanita dalam mengurus ekonominya dan mengadakan transaksi dalam jumlah yang besar tanpa ketergantungan pada ayah, saudara ataupun suami. Hal-hal yang dikemukakan di atas menjadi dasar tidak dibutuhkannya wali dalam nikah mut’ah maupun nikah permanen (da'im).
Mengenai saksi dalam pernikahan, Murthadha Muthahhari berkata bahwa Islam tidak memerlukan adanya dua orang saksi sebagai syarat sahnya pernikahan. Sebab Islam tidak menginginkan dalam pelaksanaan suatu amal kebaikan menjadi tertunda disebabkan tidak adanya saksi. Tetapi untuk perceraian kehadiran dua orang saksi itu diwajibkan sebagai suatu syarat yang diperlukan. Murthadha Muthahhari tidak mempergunakan istilah adil untuk dua orang saksi, tetapi mempergunakan istilah dua orang saleh. Muthahhari berpendapat bahwa bagaimanapun kehadiran dua orang saksi bisa mencegah pria untuk menceraikan istrinya asal dilakukan dengan cara yang tepat.
Kepustakaan:
Murthadha Muthadhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, terj. M. Hashim, Jakarta: Lentera Basritama, 2001. Muhammad al-Kazimi al-Qazwainiy, al-Syiah fi Aqa;’idihim wa al-Khayrihim, Kuwait: Mathubi Dar Al-Thaliah, t. th.. Rahman Zainuddin et. al., Syi’ah dan Politik di Indonesia, Bandung: Mizan 2000
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar