Skip to main content

KPK dan Korupsi Sistemik; Refleksi Hari Anti Korupsi 2011

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 07, 2011

Sebagaimana kerap dilaporkan oleh berbagai media, kasus korupsi di negeri ini masih terus terjadi. Bahkan di beberapa tempat tindakan korupsi semakin canggih, dan semakin sukar tersentuh hukum. Laporan semacam itu mengindikasikan bahwa upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya, selama ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Semangat sejumlah pejabat pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memanfaatkan uang publik untuk kepentingan pribadi masih tinggi. Tendensi demikian telah mengubur harapan terciptanya good governance pada era reformasi.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa upaya-upaya pemberantasan korupsi tersebut kurang begitu berhasil? Bukankah sudah dikeluarkan aturan perundangan yang memberi sanksi keras terhadap tindakan korupsi? Bukankah sudah dibentuk lembaga anti korupsi, dan diadakan pelbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan integritas birokrat untuk memerangi korupsi?
Dalam literatur sosiologi seperti yang kami kutip dari sini, disebutkan bahwa tindakan korupsi sedikitnya melibatkan empat komponen penting yaitu: birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat. Mereka melakukan tindakan terencana dan sistematis memindahkan harta publik (milik rakyat) menjadi harta privat. Mereka juga memanfaatkan harta publik untuk kepentingan pribadi, baik dengan memfaatkan kelemahan regulasi maupun dengan melanggar peraturan-peraturan yang berlaku. Jaringan sosial yang mereka beragam, bergantung pada asal inisiatif korupsi (inisiatif siapa), pihak-pihak yang ditempatkan sebagai perantara, dan mekanisme yang dipergunakan untuk memindahakan atau memanfaatkan harta publik yang dikorupsi.
Inisiatif korupsi yang diawali dari birokrat. Motivasinya bisa bermacam-macam, antara lain untuk memperoleh promosi (kenaikan jabatan), menumpuk kekayaan pribadi dan segenap “semangnya” (melumasi birokrasi), atau untuk melindungi diri dari kemungkinan mendapatkan sanksi politik (misalnya pergantian jabatan/posisi atau fungsi atas usulan parlemen) akibat dari kinerja yang buruk. Pemindahan dan pemanfaatan uang rakyat tersebut bisa dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, maksudnya birokrat melakukan transfer langsung kepada politisi, baik dengan cara memanipulasi sistem penganggaran uang negara (menyesuaikan diri dengan ketentuan administratif yang berlaku), maupun dengan cara terang-terangan melanggar peraturan yang berlaku. Kemudian secara tidak langsung, maksudnya birokrat melakukan transfer melalui broker, sehingga sangat sulit dilacak kemana uang rakyat tersebut mengalir. Broker tersebut bisa berasal dari pengusaha (pelaku bisnis) yang biasa memfasilitasi kebutuhan pemerintah. Broker tersebut bisa juga berasal dari kalangan profesional (konsultan) yang lazim dikontrak oleh pemerintah untuk menyusun konsep atau melakukan pendampingan dalam membuat perencanaan dan implementasi kebijakan serta program pembangunan.
Hari ini tindakan korupsi dilakukan dengan cara-cara konspirasi (persekongkolan) yang cukup canggih. Pemindahan dan penggunaan uang rakyat memperoleh legitimasi dari lembaga-lembaga publik, sehingga secara administratif acapkali terlihat tidak sebagai penyimpangan. Implikasinya kemudian adalah sukar disentuh oleh aturan hukum, dan tindakan pemindahan serta penggunaan uang rakyat tersebut tidak mudah dikategorikan sebagai tindakan korupsi.
Inisiatif korupsi yang diawali dari politisi atau kelompok kepentingan. Motivasinya juga beragam, antara lain dalam rangka memperkaya diri (menumpuk kekayaan sampai berjilbun), menutup biaya yang pernah dikeluarkan untuk pemilihan umum, serta untuk meningkatkan logistik partai. Korupsi yang diiniasi oleh politisi bisa dilakukan secara langsung dan bisa pula secara tidak langsung (melalui broker). Kalau pada tindakan korupsi yang diinisiasi oleh birokrat lazim memanfaatkan pengusaha (pelaku bisnis) sebagai broker, pada tindakan korupsi yang diinisiasi oleh politisi lebih sering memanfaatkan jasa konsultan atau kelompok profesional.
Betapa politisi dan kelompok kepentingan bisa membangun konspirasi dengan birokrat (bisa rejim penguasa) untuk melakukan intervensi pada arah kebijakan publik. Dalam konteks ini, kebijakan publik yang kelak diimplementasikan oleh pemerintah bukan hasil dari identifikasi kebutuhan masyarakat, tetapi karena kepentingan pihak-pihak yang sengaja melakukan konspirasi mengeruk uang rakyat.
Publik bolehjadi diajak diskusi atau dilibatkan dalam merumuskan kebijakan publik, tetapi eksekusi tetap ditangan mereka. Oleh karena kerja mereka melalui prosedur seperti ditentukan oleh peraturan perundangan, maka tindakan korupsi yang mereka lakukan acapkali sukar dibuktikan secara hukum. Lembaga-lembaga peradilan (kepolisian dan pengadilan) kerapkali dikelabuhi dengan bentuk-bentuk pertanggungan jawab yang seakan-akan sudah sesuai dengan semua ketentuan yang berlaku. Padahal ketentuan tersebut sengaja dibuat untuk memperlancar korupsi, sehingga ketika terjadi penyelidikan, penyidikan, atau sidang di pengadilan sulit dibuktikan sebagai kasus korupsi.
KPK yang lahir berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 itu, resmi beroperasi pada 2004. Performa gemilang KPK di awal musim membuat publik Indonesia berdecak kagum bahkan jatuh hati dengan institusi pemberantasan korupsi tersebut. Sejak keberadaan KPK, Indonesia memilik dua institusi penanggulangan kasus korupsi.
Hari Anti Korupsi se-Dunia yang jatuh pada hari ini, tentu meninggalkan kesan yang mendalam bagi semua elemen bangsa ini, terlebih KPK yang mendapat mandat sebagai institusi independen dengan tugas
Kita menyadari betul bahwa tugas yang diemban KPK bukanlah tugas gampang layaknya membalik telapak tangan. Namun bukan berarti KPK bisa beralasan lain atas mandat ini, terlebih kalau KPK mangkir dari tugas dan wewenangnya. Tentu itu bukan harapan publik.
Jumlah terdakwa korupsi skala besar yang diajukan Polisi atau Jaksa ke meja hijau pada periode 1999-2003 adalah 36 orang. Angka ini meningkat pesat menjadi 209 orang pada periode 2004-2008 sejalan dengan beroperasinya KPK. Artinya, terjadi pertumbuhan penuntutan atau detection rate 480,56 persen atau 96,11 persen per tahun.
Keterangan dari www.antikorupsi.org, implikasi keberadaan KPK telah meningkatkan detection rate sebesar 199,57 persen (diperoleh dari 480,56 persen 280,99 persen) selama periode 2004-2008 atau hampir 40 persen per tahun. Jika detection rate kasus korupsi besar pada periode 1999-2003 adalah 36 orang, maka keefektifan keberadaan KPK relatif terhadap Polisi atau Jaksa adalah meningkatkan tuntutan 14,4 terdakwa per tahun atau 72 terdakwa selama periode 2004-2008.
Menjelang akhir tahun 2011 yang juga bertepatan dengan peringatan Hari Anti Korupsi se-Dunia pada 9 desember hari ini, besar harapan publik agar KPK tetap pada jalurnya, tak hanya melakukan pemberantasan korupsi tapi juga melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap praktek korupsi di Indonesia. Apa artinya melakukan pemberantasan korupsi, sementara di sisi lain para koruptor-koruptor muda tumbuh subur.
Abraham... Ewako !!!
Referensi Makalah®
*Refleksi Admin
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar