Skip to main content

Fikih Perempuan; Konteks Keindonesiaan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 14, 2011

Empat sumber yang dijadikan sebagai acuan utama produk pemikiran Islam, yakni fikih, fatwa ulama, yurispundensi, dan perundang-undangan Islam. Fikih sebagai produk ijtihad adalah sesuatu yang mutlah adanya. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan fikih, termasuk pengabaian terhadap fikih perempuan sama halnya dengan mengabaikan setengah dari konsep ajaran Islam. Dikatakan demikian, karena ajaran Islam yang termaktub dalam sumber pokoknya (al-Quran dan Hadis), senantiasa menyebut eksistensi kaum perempuan. Eksistensinya ini, menyangkut perlunya mendudukkan perempuan pada kedudukan yang sebenarnya, serta memberi mereka peranan bukan saja dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Fikih Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga
Dalam Islam, kehidupan suami isteri merupakan hubungan kerja sama kedua bela pihak untuk mewujudkan kehidupan yang mawaddah wa rahmah (penuh cint dan kasing sayang), juga sakīnah (ketenangan). Dalam mewujud-kan kehidupan tersebut, Alquran memberikan petunjuk bagi suami isteri. Bagi suami ada petunjuk seperti yang dalam QS. al-Nisā (4): 19, yakni, وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (dan pergauliah mereka/isteri-isteri dengan cara yang ma’ruf). Bagi isteri ada petunjuk seperti yang terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): 228, yakni, وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (dan para perempuan mem-punyai hak yang setimpal dengan kewajibannya dengan cara-cara yang ma’rif). Dengan ayat ini, ditegaskan bahwa hubungan suami harus berdasarkan mu’āsyarah bi al-ma’rūf.
KH. Hussein Muhammad dalam bukunya Fikih Perempuan men-definisikan mu’āsyarah bi al-ma’rūf sebagai “pergaulan, pertemanan, persahabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan yang dibangun bersama (antara suami isteri) dengan cara-cara yang baik. Dengan prinsip mu’asyarah bi al-ma’rūf, persoalan-persoalan yang timbul dalam urusan rumah tangga bisa terselesaikan dengan baik.
Namun dalam kenyataannya di era kekininan yang sering terjadi di dalam rumah tangga kaum muslim Indonesia, suami dianggap sebagai orang yang mempunyai posisi tertinggi dalam pengambilan keputusan. Ia harus diutamakan dalam banyak hal, dan isteri (perempuan) harus taat kepada segala ketentuannya. Jika ia berusaha untuk melanggar, ia akan dikenakan sanksi nusyūz.
Karena itu, fikih perempuan yang diharapkan di era kekinian adalah memberikan peluang yang sama secara proporsional kepada jenis perempuan dan laki-laki untuk memperoleh hak-hak dan kewajiban yang seimbang (adil) dalam kehidupannya. Tak ada jenis yang harus menempati posisi pertama dan kedua, sebab semuanya sama derajat dan martabatnya di hadapan Allah.
Masalah lain yang perlu mendapat perhatian di era kekinian dan masih kontroversial dalam masyarakat Indonesia kaitannya dengan fikih perempuan, adalah tentang ijbār dan wali mujbir. Dalam literatur fikih klasik dikenal istilah wali mujbir yang dalam hal ini, adalah ayah atau kakek dari seorang gadis. Wali mujbir mempunyai hak ijbār atau hak memaksanakan sebuah perkawinan pada gadis tersebut. Gadis yang tidak mau mengikuti perkawinan tersebut akan dicap durhaka dan telah berbuat dosa. Dengan aturan ini, tidak mengherangkan masih banyak perempuan Indonesia, terutama di pedesaan menerima saja bentuk perkawinan itu. Dalam kenyataannya pula, sering perempuan tidak berdaya menghadapi pilihan orang tuanya, mesi mereka tidak menginginkannya.
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dikatakan bahwa “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan balig”. Kemudian dalam pelaksanaannya, akad nikah atau ijab dan qabul, penyerahannya dilakukan oleh wali mempelai perempuan atau yang mewakilinya, dan qabul (penerimaannya) oleh mempelai laki-laki. Namun, Undang-undang perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan:
“Perkawinan yang dilangsungkan dimuka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami isteri, jaksa dan suami atau isteri”.
Jadi, secara implisit bunyi pasal di atas mengisyaratkan dengan jelas bahwa perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinannya batal atau dapat dibatalkan. Namun demikian, apabila ternyata mereka yang me-langsungkan perkawinan telah hidup bersama sebagai suami isteri, maka hak untuk membatalkannya menjadi gugur. Hal ini sejalan dengan ketentuan fikih Islam yang dipahami selama ini, yakni fikih mazhab Syafi’I yang mayoritas dianut oleh masyarakat Indonesia.
Fikih Perempuan dalam Kehidupan Masyarakat
Seringkali menjadi sorotan terhadap kaum perempuan di era kekinian, adalah masalah kepemipinan mereka di tengah-tengah masyarakat. Di dalam Alquran dan hadis memang ada dalil yang dipahami sebagai ajaran bahwa kaum laki-laki itu pemimpin kaum perempuan. Tetapi hal ini menjadi kontroversial, sehingga memerlukan konsep fikih yang lebih sesuai dengan kondisi berkembang di era kekinian.
Antara lain ayat al-Quran yang sering dijadikan wacana kontroversial adalah QS. al-Nisa (4): 34, yakni :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Terjemahnya :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."
Kemudian dalam hadis dinyatakan :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Artinya :
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan meraka pada perempuan"
Secara tekstual ayat dan hadis di atas, tidak membenarkan kaum perempuan menjadi pemimpin dalam berbagai medan dan wilayah, termasuk menjadi kepala negara (presiden). Ahli fikih klasik sepakat bahwa dalam rumah tangga, suamilah yang menjadi pemimpin bagi isterinya. Di dalam masyarakat kaum laki-laki juga bertindak sebagai pemimpin.
Sementara itu, diketahui bahwa kaum perempuan sejak kedatangan Islam melalui al-Quran dan hadis juga, digambarkan sebagai kaum yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Bahkan dalam al-Quran, figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki al-istiqlāl al-siyāsah, atau kemandirian politik,seperti figur Ratu Bulqis yang me-mimpin kerajaan superpower (‘arsyun ‘azhīm), memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlāl al-iqtisādiy). Perempuan juga digambarkan sebagai figur perempuan pengelolah peternakan sebagaimana dalam kisah Nabi Mūsa as di Madyan. Bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi, al-istiqlāl al-syakhsi yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami, atau menentang pendapat orang banyak (publik opinion) bagi perempuan yang belum menikah. Lebih dari itu, al-Qur’an juga, mengizinkan kaum perempuan melakukan gerakan “opisisi” terhadap segala bentuk sistem yang bersifat tirani demi tegaknya kebenaran.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemimpin perempuan bukanlah mani’ (larangan) dalam fikih Islam. Jadi makna pemimpin yang dilarang menurut pemahaman fikih sebenarnya adalah perempuan yang berkuasa secara absolut seperti Raja atau Kaisar zaman dahulu. Bila dikaitkan dengan negara Indonesia sekarang yang menganut sistem demokrasi maka kepemimpinan kaum perempuan dibolehkan. Sebab, berdasarkan demokrasi, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga, yakni kekuasaan ekskutif (pemerintahan), kekuasaan legislatif (pembuat undang-undang), dan kekuasaan yudikatif (kehakiman). Jadi jika seorang perempuan menjadi presiden di negara ini yang kekuaasannya hanya terbatas di bidang eksekutif, tidaklah dalam pengertian pemimpin yang dilarang, apalagi jika hanya menjadi menteri, atau pemimpin instansi tertentu saja, semuanya tentu dibolehkan.
Kepustakaan:
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1992. KH. Hussein Muhammad, Fikih Perempuan, Yogyakarta: LkiS, 2001. Siti Musda Mulia, Muslimah Reformis, Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung; Mizan, 1425 H/ 2005 M. Abū ‘Abd. Allāh Muhammad ibn Ismā’īl ibn Ibrāhim ibn al-Mugīrah ibn al-Bardizbāt al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhāriy, dalam CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah, Kitab al-Maghāzi hadis nomor 4073.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar