Skip to main content

Konsep Theo-Demokrasi al-Maududi

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 27, 2011

Menurut Al-Maududi Islam merupakan agama komprehensif dan tandas yang mengakar pada pondasi yang bijak dan kokoh serta lengkap, memuat segala aspek kehidupan manusia meliputi: Moral, etika serta petunjuk di bidang ekonomi, sosial dan politik (sistem bernegara).  Negara dibangun harus berdasarkan pada hukum-hukum yang ditetapkan Allah swt yang terdapat dalam al-Quran dan Hadis.
Pemikiran Al-Maududi, bertitik tolak pada pemahaman yang radikal tentang ajaran Tauhid. Berangkat dari konsep tauhid, Al-Maududi merumuskan pemikirannya tentang Konsep Theo-Demokrasi. 
Hakikat Kedaulatan Dalam Negara
Menurut Al-Maududi bahwa negara Islam bukan berbentuk demokrasi. Demokrasi memberikan konotasi (pengertian) kepada kita bahwa kekuasaan ada ditangan rakyat. Al-Maududi secara keras mengkritik paham kedaulatan rakyat yang dinilainya bercorak sekuler. Jika rakyat berdaulat, maka keputusan tertinggi dalam mengambil keputusan politik di dalam negara seluruhya terpulang kepada rakyat. Paham demokrasi yang berazaskan teori kedaulatan rakyat, menurut Al-Maududi adalah syirik bahkan cederung ilhad atau atheis oleh karena itu, menurutnya negara Islam harus menganut paham hukumat ilahiyyat (kedaulatan Tuhan) atau disebut pula theo-demokrasi (teokrasi) dan Khilafat Insaniyah (kekhalifaan manusia).
Teokrasi adalah suatu sistem kenegaraan yang memandang kekuasan Tuhan berada di tangan umat Islam yang melaksanakannya sesuai dengan ketentuan al-Quran dan Hadis, sehingga kedaulatnnya terbatas. Kedaulatan tertinggi ada pada tuhan dan bukan pada manusia. Manusia dalam hal ini hanya sebagai khalifah Allah di bumi  yang berwenang melaksanakan kedaulatan Allah.     
Kedaulatan Tuhan tidaklah berarti bahwa Tuhan secara langsung mengambil keputusan-keputusan politik di dalam negara, melainkan melalui syariah yang memuat kehendak-kehendak Tuhan untuk dilaksanakan oleh manusia untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini.
Al-Maududi mencita-citakan negara Islam yang berbentuk Khilafah yang telah dicontohkan al-Khulafah al-Rasyidin. Dia  sangat mengecam sistem kerajaan yang cederung mengekang kebebasan rakyat, karena mewariskan kekuasaan yang turun temurun.    
Eksistensi negara Islam merupakan sarana menegakkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadis yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Dapat dipahami bahwa negara Islam yang berbentuk teokrasi adalah harus berlandaskan kepada al-Qur’an dan Hadis.
Struktur Negara Islam Bardasarkan Prinsip Teokrasi 
Struktur pemerintahan Negara Islam yang diinginkan al-Maududi terdiri dari tiga lembaga, yaitu Amr atau eksekutif Ahl al-Halli Wa al-Aqdi (Majelis Syura) atau Legilatif Dan Qadha atau yudikatif.
  1. Lembaga eksekutif ialah kepala negara (Amr) atau pimpinan tertinggi negara yang bertanggung jawab kepada Allah dan terhadap rakyatnya. Dalam melaksanakan tugasnya selalu berkonsultasi dengan lembaga Majelis Syura atau lembaga Legsilatif. Lembaga eksekutif bertujuan untuk menegakkan pedoman-pedoman Tuhan yang telah disampaikan melalui Al-Qur’an dan Hadits serta penyiapan perangkap-perangkap  agar masyarakat mengakui dan mengamalkan pedoman-pedoman tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Lembaga legislatif ialah lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih melalui pemilihan.  Lembaga legislatif merupakan lembaga penengah dan pemberi fatwa. Lembaga ini tidak boleh  melakukan legalisasi yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis, sekalipun konsekuensi rakyat menginginkannya. Keputusan lembaga legislatif pada umumnya diambil atas dasar suara terbanyak dari seluruh anggota legislatif, dengan catatan bahwa menurut Islam banyak suara bukan ukuran kebenaran. Lembaga legislatif berfungsi sebagai penasehat Amr atau kepala negara dalam menjalankan urusan-urusan kenegaraan dan tidak mempunyai keputusan mutlak menyangkut pengaturan negara.
  3. Lembaga Yudikatif ialah Lembaga peradilan yang berada di luar di luar lembaga eksekutif. Tugas lembaga yudikatif ialah melaksanakan hukum Allah untuk umat-Nya. Oleh karena itu, kekuasaan hukum tidak dapat diwakili oleh siapa pun. Hanya hak Allah yang maha tinggi dan maha agung.  
Untuk menjaga eksistensi lembaga-lembaga di atas, maka Al-Maududi memberikan syarat untuk menjadi kepala negara (eksekutif) dan anggota Legislatif yaitu: yang harus dimiliki oleh seseorang untuk menjadi kepala negara adalah: (1) Beragama Islam, (2). Laki-laki, (3). Dewasa, (4) Sehat fisik dan mental, (5) Warga yang terbaik, shaleh dan kuat komitmennya kepada Islam. Sedangkan yang harus dimiliki anggota legislatif adalah: (1) Beragama Islam (2). Dewasa (3) Laki-Laki Shaleh serta terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan syariah dan menyusun Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. 
Kewarganegaraan
Negara Islam yang berbentuk  teokrasi hanya dikelola oleh masyarakat yang mempercayai Islam serta menjunjung tinggi syariatnya. Menurut Al-Maududi negara Islam mengenal dua jenis warga negara, yaitu: Warga negara muslim dan warga negara dzimmy.
Mereka mendapat perlindungan negara dan hak serta kewajiban tertentu seperti hak untuk beribadah sesuai dengan ajaran agamanya. Dalam hal-hal keagamaan mereka diperintah oleh pemimpin-pemimpin agama mereka. Tapi dalam  bidang-bidang kehidupan yang lain mereka tunduk kepada hukum Islam, agama mayoritas. Negara Islam adalah berdasarkan ideologi atau agama, maka hanya mereka yang menerima ideologi  atau agama Islamlah yang berhak mengatur negara. Oleh karena itu warga negara non Islam tidak dibenarkan menduduki jabatan kunci dalam pemerintahan dan jabatan-jabatan yang merupakan kebijaksanaan politik.
Pemahaman teokrasi al-Maududi berbeda dengan pemahaman teokrasi yang dikenal atau yang berkembang  di Eropa. Teokrasi Eropa adalah suatu sistem dimana kekuasaan negara berada pada kelas tertentu, kelas pendeta, yang atas nama Tuhan menyusun dan mengundangkan Undang-Undang atau hukum untuk rakyat sesuai dengan keinginan dan kepentingan kelas itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Abul A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan oleh Muhammad Al-Baqir dengan judul Khilafah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1998. Muktafi Fahal dan Achmad Amir azis, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia press, 1999. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah Dan pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah Dan pemikiran, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1990. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1998. Dewan  Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru, 1994. Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Tim Penulis, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru  Van Hoeve, 1996. Abul A’la Al-Maududi, Nazdariyah Al-Islam As-siyasah diterjemahkan oleh Moh. Norhakim dengan judul Politik Alternatif: Suatu Perspektif Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Muslim, “Konsep Negara Islam Dalam Pemikiran Politik Abu A’La Al-Maududi,” Al-Hikma: International Journal For Relegious Studies, Volume IV, Nomor I/ 2003. Abdul Qadim Zallum, Ad Dimukratiyah Nizham al-Kufr diterjemahkan oleh M. Shiddiq al-Jawi dengan judul Demokrasi Sistem Kufur, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar