Skip to main content

Polemik Seputar Turunnya al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 13, 2011

Nuzul al-Quran terdiri dari dua kata yaitu Nuzul dan al-Quran. Menurut bahasa, kata Nuzul dalam kamus lisan al-Arab berarti (al-hulul) berdiam atau tinggal. Sedangkan menurut Az-Zarqani, penggunaan Nuzul itu sendiri mengandung dua pengertian. Pertama berarti: tinggal disuatu tempat dan berdiam atau beristirahat ditempat itu.
Kedua berarti: turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Sedangkan makna al-Quran secara bahasa banyak diperselisihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan Musytaq dan ada yang mengatakan Jamid. Akan tetapi, secara sederhana apabila kita buka dalam kamus Arab al-Munawwir misalnya, kata  tersebut berarti bacaan karena makna tersebut diambil dari makna Qiraatun atau Quran, yaitu bentuk masdar dari Qara’a.
Rangkaian dua kata tersebut yang terdiri dari susunan idhofah memberikan pemahaman bahwa yang dimaksudkannya adalah turunnya al-Quran sendiri. Akan tetapi kata sebahagian ulama khalaf: kebanyakan orang telah menafsirkan Nuzul pada beberapa tempat dalam al-Quran bukan dengan maknanya yang terkenal, lantaran kesamaran yang terjadi bagi mereka ditempat-tempat itu, lalu menjadilah tafsiran mereka hujjah bagi orang yang menafsirkan Nuzul al-Quran itu dengan tafsir mutakallimin. Diantara mereka ada yang mengatakan, bahwa yang dikehendaki dengan menurunkan al-Quran ialah melahirkan dari tempat yang tertinggi, kemudian malaikat Jibril menurunkannya dari tempat tersebut, dan diantara mereka ada yang berkata, yang dikehendaki dengan menurunkan al-Quran ialah memberitahu kepada malaikat, sehingga mereka paham, kemudian mereka membawa turun apa yang telah mereka pahamkan itu.
Untuk menolak keraguan, Hasbi Ash Shiddiqy memberikan pernyataan bahwa hakikat keadaan turun yang terdapat dalam kitab Allah ada tiga macam: Pertama: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari Allah. Kedua: Turun yang ditegaskan bahwa dia itu diturunkan dari langit.
Ketiga: Turun yang tidak dikaitkan dengan turunnya dari Allah dan tidak pula dikaitkan dengan turunnya dari langit. Ketiga pernyataan tersebut semuanya bisa kita temui dalam al-Quran. Pertama, firman Allah dalam surah Al-An’am, ayat 114 yang berbunyi:
أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
“Bahwa al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenar-benarnya,  maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu”.
Kedua, firman Allah dalam surah Al-Hijr, ayat 22 yang berbunyi :
فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ وَمَآ اَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِيْنَ
“Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
Ketiga, firman Allah dalam surah Al-Fath, ayat 4 yang berbunyi:
هُوَالَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ  فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْا إِيْمَا نًامَّعَ إِيْمَا نِهِمْ
“Dialah (Allah) yang telah menurunkan ketenangan kedalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)".
Diantara ketiga ayat yang dikutip diatas, ketika kita memperbincangkan masalah makna Nuzul dalam kaitannya dengan Nuzul al-Quran, menurut hemat penulis ayat yang pertamalah yang paling mendekati kebenaran, karena memang pada kenyataannya al-Quran itu diturunkan dari Allah merupakan kalam Allah yang tidak bisa diganggu gugat, bukan kalam orang lain. Dan tidaklah kita katakan bahwa al-Quran itu ‘ibarah dari kalamnya, dan apabila dibaca oleh seorang pembaca, tidaklah dikatakan kalam pembaca itu sendiri, karena kalam itu disandarkan kepada orang yang mengatakannya pada permulaan, bukan kepada orang yang menyampaikannya. Adapun cara Allah menurunkannya  akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
Kemudian pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah kalau al-Quran itu diturunkan, terus apanyakah yang diturunkan? Apakah lafadznya ataukah maknanya? Karena hal ini mengundang perdebatan dikalangan ulama, diantaranya ada yang berpendapat bahwa:
Pendapat pertama, menetapkan bahwa yang diturunkan itu lafadz dan makna. Jibril menghafal al-Quran dari Lauh al-Mahfudz kemudian menurunkannya.
Pendapat kedua, menetapkan bahwa Jibril menurunkan maknanya saja. Rasul memahami makna-makna itu, lalu beliau menta’birkan dengan bahasa Arab.
Pendapat ketiga, menetapkan bahwa Jibril menerima lalu Jibril mentakbirkannya dengan bahasa Arab. Dan ada paham bahwa isi langit membaca al-Quran itu dengan bahasa Arab. Lafadz Jibril itulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w.
Ketiga pendapat tersebut kalau kita tengok dalam al-Quran sebenarnya sudah dijelaskan. Hal ini juga terkait dengan al-Quran apakah ia sebagai lafadz atau makna. Diantaranya firman Allah sebagai berikut:
بَلْ هُوَ قُرْءَانُ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ
“Tetapi dia (sebenarnya) Qur’an yang mulia (termaktub) di Lauh al-Mahfudz”.
(Q.S. al-Buruj:21-22)
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ
“Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul yang mulia”(Q.S. al-Haqqah:40).
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ
”Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang-orang yang memberi peringatan. (Q.S. Asy-Syu’ara:193-194).
Ayat pertama dipahami oleh sebagian ulama bahwa al-Quran itu dinisbahkan kepada Allah. Allah menjadikannya di Lauh al-Mahfudz, sementara ayat kedua dipahami oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Quran adalah lafadz Jibril, sementara ayat ketiga dipahami juga oleh sebagian ulama, bahwa lafadz al-Quran itu adalah lafadz Rasul sendiri. Kalau demikian, tentulah yang diturunkan kepada Nabi s.a.w. adalah makna al-Quran, lalu Nabi menyebutnya dengan memakai lafadz Nabi sendiri.
Para muhaddits berpendapat bahwa, pendapat yang terdekat kepada kebenaran dan keagungan al-Quran, ialah pendapat yang pertama. Itulah yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan kedudukan al-Quran sebagai kalamullah dan sebagai suatu mukjizat.
Al-Juwainy berkata: kalamullah itu (yang diturunkan) terbagi dua yaitu:
Pertama, bahagian yang Allah sampaikan kepada Jibril: katakanlah kepada Nabi yang engkau diutus kepadanya, bahwa Allah swt, berkata begini, atau menyuruh mengerjakan begini, atau memerintahkan begini. Jibril memahami apa yang difirmankan oleh Allah swt., kemudian ia membawa turun kepada Nabi dan lalu menyampaikannya apa yang difirmankan Allah swt. kepadanya. Akan tetapi, bukan dengan ibarat yang didengar oleh Allah swt, yakni yang disampaikan itu hanya maknanya saja.
Kedua, bahagian yang Allah swt sampaikan kepada Jibril: Bacalah kepada Nabi kitab ini, maka Jibril turun membawa yang disuruh baca itu dengan tidak mengubah lafadz. Hal ini serupa dengan utusan yang diserahkan kepadanya suatu surat dan diperintahkan ia membaca surat itu kepada orang yang dimaksudkan, maka yang membawa surat dan yang membacanya, tentulah membacanya persis sebagai isi surat sendiri, sedikitpun tidak berubah.
Al-Ashfahani mengatakan dalam muqaddimah tafsirnya bahwa Ahlu Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa kalamullah itu diturunkan, tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengartikan inzal (turunnya) al-Quran. Sebahagian lagi mengatakan bahwa Allah mengilhamkan kalam-Nya kepada Jibril, dengan mengajarkan bacaan kalam itu kepada Jibril. Setelah itu Jibril melakukan bacaan tadi di bumi, yang sudah barang tentu ia turun ke bumi.
Ringkasnya, bahwa makna diturunkannya al-Quran ialah, diturunkannya dari alam gaib kedalam alam syahadah dengan jalan menzahirkan rupanya yang bersifat alam kepada para utusan-utusan (para malaikat yang dijadikan utusan), atau dengan jalan dilahirkan di Lauh al-Mahfudz, atau dihujamkan dalam jiwa Nabi. Beginilah makna diturunkan al-Quran yang dipegang oleh ulama khalaf. Sebagaimana juga diterangkan oleh pengarang al-Kulliyat, bahwa makna diturunkan al-Quran, bukanlah dia diangkat dari satu tempat kesatu tempat yang lain melainkan hanya maknanya saja, Jibril menurunkan apa yang ia pahami dari kalamullah di atas langit tujuh lalu turun untuk mengajarkan yang demikian kepada para Nabi di atas bumi.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu, Zaid, Hamid Nasr, Mafhum an-Nash, Diratsah fii ‘Ulum al-Quran, diterjemahkan oleh, Khoiron Nahdliyyin, dengan judul, Tekstualitas al-Quran, Yogyakarta: LKIS, 2003, Abu Anwar, Ulumul Qur’an sebuah pengantar, Pekan Baru: PT. Amzah, 2002, Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, bulan Bintang, Jakarta: 1992, As-Shalih Subhi, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Az-Zarkasyi (Badaruddin Muhammad bin Abdillah), al-Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: dar al-Ma’rifat li at-Tiba’ahwa an-Nasyr,1972. Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Quran, Jilid 1, Dar al-Fikr; Beirut: 1998, Muhammad, Aly Ash-Shabuny, At-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran, Terjemahan, Pengantar Study al-Quran, Jakarta: Al-Ma’arif, 1982, Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya: 2002.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar