Skip to main content

Mengupas Epistemologi (1)

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 10, 2011

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan, merupakan gabungan dua kalimat episteme, yang berarti pengetahuan; dan logos yang berarti teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang membahas masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim(subjek) dan ma'lum (objek). Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Epistemologi melahirkan "pandangan dunia", dan "pandangan dunia" melahirkan ideologi dan ideologi perlu pengenalan.
Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij). Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar dan realitas. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran.
Lantas, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal?, parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu?, mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter  ini?, dapatkah manusia menyerap kebenaran itu?
Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresip, manusia seringkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran,  penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha berpegang teguh dalam memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya. Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini. Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal. 
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksistensial. Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati.  Dengan kata lain,  akal yang digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi).
Sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat yang menggunakan akal (an-sich) , maka kita harus membahas instrumen dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini.  Dan hal ini merupakan raison d'être pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin. Walhasil,  pembahasan epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.
Dalam logika Islam, sebab Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia tidak mengamalkan pering­kat ke empat dari kerangka filosofis hasil dari epistemologinya. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya; peringkat pertama adalah epistemologi, kemudian "pandangan dunia", kemudian ideologi dan terakhir ideologi mengharuskan ia untuk melaksanakan suatu amal perbuatan. Di sinilah ia tergelincir, sehingga Allah mengusirnya dari surga.
al-Quran menceritakan kisah Adam As tatkala mendekati pohon tersebut setelah kisah, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemuka­kannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama betuta-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!. Q.S. al-Baqarah: 2/31.
Sebelum Adam As menempati surga telah dikatakan kepadanya untuk tetap tinggal di sana, mata­nya dalam keadaan terbuka, telah mengetahui berbagai rahasia alam, ia adalah seorang manusia dan bukan se­ekor binatang yang matanya dalam keadaan tertutup, dan karena memakan buah dari pohon itu lalu matanya menjadi terbuka. Sejak pertama masuk ke dalam surga Adam As adalah seorang manusia. Karena ia adalah seorang manusia, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, memahami dan mengetahui berbagai hakikat. Adam As dikeluarkan dari surga adalah karena ia telah keluar dari sisi kemanusiaan. Dengan ilmu dan penge­tahuan yang ia miliki, ia masih terperdaya hawa nafsu­nya, menjadi budak ketamakan dan keserakahan yang akhirnya ia menjadi tamak dan serakah. Allah menegaskan bahwa di sini (surga) adalah tempat untuk manusia. Adam as telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga. Adam As tidak mengamalkan epistemologi dan pengetahuan yang ia miliki.
"Saya (Adam) adalah manusia dan saya mengetahui berbagai hakikat. Kalimat 'saya mengetahui' menunjukkan kepada saya tentang suatu bentuk alam ini. Dan karena saya (Adam) mengetahui alam semesta sedemikian rupa, maka saya terikat dengan 'harus dan tidak boleh'. Tetapi saya tidak menghiraukan `harus dan tidak boleh' itu, tidak mera­sakan adanya rasa tanggung jawab, sekali­pun ada bisikan: 'pohon itu adalah pohon kekekalan, karena Allah merasa iri padamu, maka Dia melarang­mu memakan buahnya. Sekarang pergilah ke pohon itu dan makanlah buahnya, (mereka menceritakan bahwa Adam memperoleh bisikan semacam itu) saya tidak boleh terpedaya."
Wahai Adam! Anda adalah seorang manusia, Anda memiliki epistemologi, Anda memiliki "pandangan dunia", Anda memiliki ideologi, dan pada akhirnya ideologi mengharuskan amal perbuatan (perbuatan memiliki dua sisi; sisi positif dan sisi negatif), diperlukan ketakwaan, menjaga diri. Mungkinkah seorang yang memiliki ideologi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk menahan diri atas rasa sedikit kekurangan? Apa­kah di samping saya memiliki ideologi, saya juga senantiasa menuruti apa saja yang saya lihat?
Dengan demikian, al-Quran tidak mengakui pelarangan penggalian epistemologi, tetapi bahkan mendukung epistemologi. Hal itu cukup jelas, ketika al-Quran meng­ajak manusia pada penggalian epistemologi, al-Quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang mustahil. Apa yang hendak dikatakan oleh al-Quran tatkala menceritakan kisah Adam as dan keluasan epistemologinya? Al-Quran hendak mengatakan, "Wahai manusia! Kalian memiliki kemampuan untuk menggali epistemologi yang tidak terbatas, Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-­benda) seluruhnya.
Dengan kisah itu, al-­Quran hendak menyatakan kepada seluruh manusia, "Wahai manusia! Kalian adalah anak-anak Adam as itu, anak dari Adam as yang memiliki epistemologi sampai sedemikian rupa. Kalian adalah anak Adam as yang telah berhasil memperoleh epistemologi yang tidak terbatas. Oleh karena itu pergilah menuju epis­temologi yang tidak terbatas. Kalian adalah anak epis­temologi." Menurut pandangan al-Quran, anak Adam as adalah sama dengan anak epistemologi.
Al-Quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as pada epistemologi. Dalam al-Quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat, dan merenungkan. Dalam al-Quran terdapat berbagai ungkapan semacam ini, Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi." Q.S. Yunus: 101.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar