Skip to main content

Pembicaraan tentang Filsafat Analitika

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 21, 2011

Filsafat analitika merupakan suatu gerakan filsafat abad duapuluh. Aliran ini kuat di Inggris dan Amerika. Gerakan ini memusatkan perhatiannya pada bahasa dan upaya untuk menganalisis pernyataan (konsep, atau ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk logis). Tujuannya ialah menemukan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas dan yang terbaik, yang cocok dengan fakta atau arti yang disajikan. Dengan kata lain, filsafat analitika merupakan suatu ungkapan yang merangkum semua karya filosofis abad keduapuluh, yang bersandar kuat pada teknik linguistik dan analisis logis.
Filsafat analitika adalah pemecahan dan penjelasan problem-problem serta konsep-konsep filsafat melalui analisis bahasa. Filsafat analitik sendiri, secara umum hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa. Di dunia  berbahasa Inggris, tradisi filsafat semacam ini telah menjadi bagian penting di dalam refleksi filosofis sejak awal abad ke-20.
Pusat bagi filsafat analitika adalah pembentukan definisi linguistik atau non-linguistik, real atau kontekstual. Salah satu pendirian filsafat analitika yang pokok ialah bahwa suatu klasifikasi arti dan penggunaan kata sangat penting dalam menangani masalah filosofis, khususnya kepada masalah metafisis, dengan memperlihatkan bahwa masalah itu terletak pada pemakaian bahasa yang salah. Bahasa adalah alat yang sangat penting dari seorang filsuf serta perantara untuk menemukan ekspresi. Oleh karena itu, filsuf peka terhadap kekaburan serta cacat-cacat bahasa serta merasa simpati untuk menjelaskan dan memperbaikinya.
Beberapa pandangan dapat ditemukan dalam filsafat analitika.
Bertrand Russell: sasaran filsafat analitika ialah menerjemahkan secara gramatikal pernyataan-pernyataan yang menyesatkan ke dalam bentuk-bentuk yang tepat secara logis.
G.E. Moore: filsafat analitika tidak menemukan fakta-fakta tentang dunia tetapi sebaliknya mendefinisikan dan menjelaskan konsep.
Ludwig Wittgenstein: tujuan filsafat analitika ialah menerjemahkan semua pernyataan yang rumit dan deskriktif ke dalam pernyataan dasar atau elementer. Lalu pernyataan dasar ini diletakkan ke dalam satuan-satuan terdalam yang tidak dapat dianalisis, yang menyajikan satuan-satuan dunia nyata yang sederhana, yang tidak dapat direduksi. Suatu pendirian pokoknya ialah bahwa filsafat tidak dapat melampaui batasan bahasa. Filsafat tidak dapat melukiskan atau menjelaskan bagaimana bahasa dihubungkan dengan dunia nyata. Hubungan ini hanya dapat diperlihatkan. Tugas yang tepat dari filsafat ialah membuat jelas apa yang dapat, atau tidak dapat, dikatakan secara legitim.
Rudolph Carnap: filsafat analitika adalah penyingkapan sintaksis logis secara sistematis konsep-konsep dan bahasa, khususnya mengenai bahasa ilmu; masalah yang sungguh formal. Perhatian yang utama di sini tidak menyangkut makna (semantika) kata dan tidak menyangkut relasi makna antara bahasa kita dan dunia nyata, melainkan menyangkut interrelasi struktural bahasa-bahasa itu sendiri. Dalam beberapa hal sulit dibedakan secara tajam antara filsafat analitik dan filsafat linguistik.
Penafsiran apapun terhadap gerakan ini hendaknya memperhatikan kerumitannya dan kecanggihannya yang meningkat. Karya-karya analitik awal tergoda menjadi naif secara epistemologis dan menyimpang kepada metafisika, biarpun karya-karya itu jarang bersandar pada penolakan dogmatis terhadap metafisika sebagai suatu yang tidak berarti bagi positivisme. Analisis formal seringkali menyingkapkan suatu bias apriori dalam mendukung materialisme. Kendati demikian, sejak awal gerakan ini mempunyai keuntungan karena berpusat pada presuposisi yang menyangkut arti dan penggunaan bahasa yang sering diterima secara tidak kritis dalam tradisi filosofis lainnya.
Suatu perkembangan yang panjang dan bervariasi secara bertahap semakin meninggalkan teori data-inderawi dalam pengetahuan; suatu klasifikasi tentang hubungan antara bahasa dan konsep-konsep, dan elaborasi teknik-teknik jitu dan analisis konseptual dan linguistik. Sebagai sebuah metodologi, analisis adalah netral secara filosofis dalam arti analisis dapat digunakan untuk menjelaskan (klasifikasi) dan sering kali mendukung posisi-posisi filosofis yang sangat bervariasi. Walaupun kaum analisis awal condong ahistoris, jika tidak dikatakan anti-hisroris, namun pengarang-pengarang yang lebih kemudian telah mempergunakan teknik-teknik analitis, dengan akibat-akibat yang sangat tidak seimbang untuk menjelaskan arti dan makna posisi-posisi filosofis awal. 
Perkembangan filsafat setidaknya mempunyai empat fase perkembangan pemikiran, sejak munculnya pemikiran pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Kedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat perkembangan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai  sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan eksentuasi filsuf pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar