Skip to main content

Nikah Mutah dan Kompilasi Hukum Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 24, 2011

Nikah mut’ah atau kawin sementara merupakan suatu bentuk perkawinan yang terjadi belum Islam. Nikah mut’ah pernah dilakukan di zaman Rasulullah dan Abu Bakar, terutama dalam keadaan darurat perang, ketika para sahabat tidak membawa istri-istri mereka. Oleh karena itu Rasulullah mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah. Di zaman khalifah Umar, nikah mut’ah dilarang dengan alasan untuk menghindari penyalahgunaan. Hal ini kemudian diikuti oleh mazhab Sunni.
Kalangan Syi'ah sangat menyayangkan pelarangan ini, dan sejak itu terjadilah perbedaan pendapat tentang nikah mut’ah antara Sunni dan Syi'ah. Jauhnya para mujahidin dari istri-istri mereka, dan takut terperosok pada perzinaan merupakan satu alasan dibolehkannya Nikah Mut’ah. Ini merupakan satu sikap yakni mengambil yang paling ringan di antara dua bahaya. Hal ini terjadi pada perang Unthas dan pada penaklukkan Mekkah. Kemudian Nabi mengharamkannya dan ditetapkan keharamannya berdasarkan ayat Q.S al-Mu’minun 23/4-6:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari dibalik ini maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Menurut Muhammad al-Karmiziy al-Qazwainy, nikah mut’ah itu dibolehkan dalam Islam, dan tidak di-mansukh-kan, karena termasuk yang dihalalkan oleh Muhammad saw. sampai hari kiamat. Demikian juga pendapat Imran bin al-Husain yang menyatakan bahwa nikah mut’ah disebutkan dalam kitab Allah, maka kami melakukannya bersama Rasulullah saw. al-Quran tidak mengharamkannya, juga Nabi tidak melarangnya sampai ia meninggal.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud: pada waktu kami dalam keadaan perang bersama Nabi saw, sedang kami tidak membawa istri, kami memohon kepada Rasulullah saw. bolehkah kami mengebiri diri? kamipun dilarang oleh Rasulullah melakukan yang demikian. Lalu kami dibolehkan untuk menikahi perempuan senilai pakaian. Demikian menurut Muhammad Al-Kazimiy Al-Qazwainiy. Ditambahkannya pula bahwa menurut keterangan Ibnu Mas’ud, Nikah Mut’ah itu termasuk al-t}ayyib al-muh}allaf, yakni yang baik-baik yang dihalalkan sampai hari kiamat, karena al-Quran membolehkannya sedangkan Rasulullah tidak melarang secara mutlak sampai Rasul meninggal. Adapun yang mengharamkan nikah mu’tah hanyalah Khalifah Umar r.a. seperti yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Jadi tidak ada pelarangan mutlak dari Rasulullah Saw mengenai Nikah Mut’ah karena al-Quran membolehkannya. Hanya Khalifah Umar yang melarangnya. Demikian menurut Muhammad Al-Kazimiy.
Allamah Kasyif Githa dalam memahami larangan Umar tersebut mengatakan bahwa Khalifah Umar mengambil sikap untuk membatalkan nikah mut’ah dalam arti bahwa urusan mut’ah termasuk dalam kewenangannya sebagai pemimpin umat dan pelindung kaum muslimin. Setiap pemimpin dan pemegang kekuasaan merasa patut untuk berbuat sesuatu sesuai tuntutan zaman dan keadaan untuk membuat perubahan seperti itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hammudah Abd. al-Ati. Keluarga Muslim: The Family Structure in Islam, terj. Anshari Thayeb (Surabaya: Bina Ilmu, 1989). Rahman Zainuddin et. al., Syi’ah dan Politik di Indonesia (Bandung: Mizan 2000). Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Penerbit al-Hidayah, 1998). M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, Volume 2 (Jakarta: Mutiara Hati, 2000). Muhammad Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Muhammad Hamid (Surabaya: Bina Ilmu, 1982). Abdullah Taufiq, Nikah Mut’ah (Kairo: al-Markaz al-Arasy al-Hadis, t.th.).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar