Skip to main content

Mengenal Kaidah Amr dalam Ushul Fikih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 10, 2011

Pada dasarnya kaidah al-Amr, al-Nahyu, al-Ibahah adalah salah satu referensi ilmu alat sebagai kaidah dalam mengenal fikih. hal ini tentunya memberi pengaruh rerhadap ketetapan hukum yang dilakukan. al-Amr secara etimologi berarti sesuatu yang berkaitan dengan perintah, bisa juga berarti menutut untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu. Sedangkan secara termonilogi, yaitu suatu lafaz yang digunakan oleh orang lebih tinggi kedudukanya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melaksanakan suatu perbuatan.
Apabila pengertian al-Amr di atas, digunakan untuk al-Quran dan dalil berarti bahwa al-Amr adalah perintah yang bersumber dari Allah kepada manusia untuk melaksanakan aturan-aturan yang diperintahkan.
Bentuk-bentuk atau Shigat al-Amr
Adapun shigat atau bentuk-bentuk al-Amr di antaranya:
a) Bentuk fiil al-Amr, misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2) : 43;
أقيموا الصلاة وآتوالزكاة…
b) Bentuk fiil al-Mudhari’ yang dimasuki lam al-Amr, misalnya dalam QS. Al-baqarah (2): 185;
…فمن شهد منكم الشهر فليصمه…
c) Isim masdar yang berfungsi sebagai fiil al-Amr, misalnya dalam QS. Al-Isra (17): 23;
وبالولدين إحسانا
d) Jumlah khabariyah yang mengandung tuntutan, misalnya dalam QS. Shaf (61): 11;
تؤمنون بالله ورسوله وتجاهدون فى سبيل الله …
Selain bentuk di atas, terdapat pula uslub yang menunjukkan al-Amr, di antaranya menggunakan kata Amara (QS. 16: 90), Faradha (QS. 33: 50), dan Kataba (QS. 2: 180).
Lafaz al-Amr menunjukkan kepada pengertian wajib selama al-Amr berada dalam kemutlakannya, sesuai dengan kaedah “الأصل فى الأمر الوجوب“.Tetapi jika ada suatu qarinah yang dapat mengalihkan lafaz al-Amr kepada arti lain, maka hendaknya dialihkan kepada arti yang dikehendaki qarinah tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa pengertian yang dikandungnya antara lain.
Makna yang menunjukkan Nadb (sunnah) misalnya dalam QS. Al-Nur : 33;
فكاتبوهمإن علمتم فيهم خيرا.
2.Makna yang menunjukkan irsyad (Pengarahan), seperti dalam QS. Al-Baqarah (2): 202;
ياأيها الذين آمنوا إذا تدينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه
3.Makna yang menunjukkan Ibahah (membolehkan), misalnya dalam QS. Al-Baqarah (2): 187;

وكلوا واشربواحتى لتبين لكم الخيظ الأبيض من الخيظ الأسود.
4.Makna yang menunjukkan doa, misalnya dalam QS. al-baqarah (2) : 201;
ربنا آتنافى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة.
5. Makna yang menujukkan Tahdid, misalnya dalam QS. Fushshilat : 41;
اعملوا ما شئتم.
Pelaksanaan al-Amr
Shigat al-Amr secara bahasa bermakna tidak mengandung adanya pengulangan perkara yang diperintahkan dan tidak menunjukkan bahwa yang diperintahkan itu harus segera dilaksanakan. Pengulangan dan penyegeraan  melakukan perbuatan yang diperintahkan tidak ditunjuk oleh shigat itu sendiri, sebab maksud tersebut adalah tercapainya perkara yang diperintahkan. Maksud itu dapat tercapai lantaran telah dikerjakan walaupun hanya sekali saja dan pada waktu apa saja, jika terdapat qarinah yang menunjukan adanya pengulangan atau penyegeraan, maka qarinah itulah yang sebenarnya menunjukkan pengulangan dan penyegeraan. Untuk lebih jelasnya penulis kemukakan pendapat ulama, sebagai berikut:
Mengenai suatu perintah apakah dikerjakan sekali atau harus berulang kali. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat:
Menurut fuqaha Hanafiah dan kebanyakan fuqha syafiiyah, bahwa:
الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار
Alasan yang mereka kemukakan bahwa sihagt al-Amr itu sendiri pada dasarnya tidaklah menunjukkan bahwa sesuat yang diperintah oleh sighat al-Amr itu harus dikerjakan sekali atau berulang kali. Apabila melakukan perintah itu sekurang-kurangnya cukup dengan sekali saja, maka yang demikian itu sudah dapat dikatakan mentaati perintah, misalnya perintah menjalankan haji dan umrah dalam QS. Al-baqarah (2): 196.
Menurut sebagian ulama;
الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار مدة العمر مع الإمكان.
Dalam hal ini amr diqiyaskan dengan tuntutan untuk meningalkan perbuatan yang berlaku dalam shigat nahi yang mengandung pengertian untuk terus menerus ditinggalkan, karena amr dan nahi keduanya adalah sama-sama berupa tuntutan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Amr itu mewajibkan adanya pengulangan apakah Amr dihubungkan dengan syarat seperti dalam QS. al-Maidah (5): 6. Kewajiban tersebut harus berulang dikerjakan, selama syarat itu ada (berulang kali terjadi), yaitu junub biarpun perintahnya sekali saja. Demikian pula bila ada hubungan sifat perbuatan, misalnya dalam QS al-Nur (24): 3. Menjatuhkan hukuman dera kepada laki-laki atau perempuan yang berzina harus berulang kali dilakukan, selama sifat perbuatan zina itu dikerjakan tanpa menunggu adanya perintah baru untuk menjatuhkan hukuman dera.
Kesegeraan dalam melaksanakan perintah. Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat.
Menurut Hanafiah dan Syafiiyah.
الأصل فى الأمر لا يقتضى الفور
Alasan yang mereka kemukakan adalah bahwa shigat Amr itu diciptakan hanya semata-mata untuk menutut sesuatu perbuatan. Karena itu tidak ada petunjuk untuk segera dikerjakan atau ditunda.
Fuqaha Malikiyah dan Hanabilah berpendapat.
الأصل فى الأمر يقتضى الفور
Mereka mengqiyaskan dengan shigat nahyu yang mengandung arti segera ditinggalkan, karena kedua amr itu sama-sama merupakan tuntutan.
Amr yang datang sesudah Nahi (larangan). Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat.
الأصل فى الأمر للوجوب ولو بعد النهى
Yang demikian itu menurut umumnya dalalah amr itu wajib. Maka kedatangannya sesudah nahi pun tidak mempengaruhi dalalahnya am’ itu.
Contoh dalam QS. al-Jum’ah : 10 yang datang setelah larangan mencari dengan alan jual beli di waktu penggilan salat jum’at telah diserukan dalam firmannya QS. al-Jum’ah : 9. Hal ini bukan perintah wajib, tetapi hanya sekadar kebolehan saja.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Yogyakarta: Unit Pengadaan BIK Ponpes al-Munawwir, 1984. Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah t.tp.: Dar al-Masyriq, 1975.Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqhi, Kairo: Dar al-Arabiy al-Arabiy, 1958. Abu Ishak al-Syatibi, al-Muwafaqat fi al-Ushul al-Syariah, Juz II Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th. Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Musthafa min al-Ushul, Mesir: al-Maktabah al-Muattahidin, 1971. Muhammad Khudari Bek, Ushul al-Fiqh Beirut: Dar al-Fikr, 1988. Muhammad Jawad Mughniyah, Ilmu Ushul al-Fiqhi Beirut: Dar al-Ilm li al-malayin, 1975. Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawiy, Kamus Idris al-Marbawiy t.tp.: Dar al-Fikr, t.th. Muhammad Madkour, al-Ibahah inda al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha Kairo: dar al-Nahdhiyyah al-Arabiah, 1981.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar