Skip to main content

Pendidikan Dikotomik; Pengertian dan Bentuk

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 25, 2013

Apabila dalam penggunaan enam pilar dasar pendidikan, yaitu ilmu umum dengan agama, alam dengan wahyu dan akal dengan wahyu ada ketidak keseimbangan, maka akan terjadi ketimpangan dan kegagalan, yang disebut dengan istilah dikotomis pendidikan dan pendidikan dikotomik.
Makna dikotomi adalah devision into two, usually contradictory classes or mutually exclusive pairs; pembagian dua kelompok yang berbeda atau dua pasangan yang sama-sama eksklisif, secara sederhana dapat dipahami pada penghujung abad ke-11.
Hilangnya Humanisme Religius dari dunia pendidikan Islam, menyebabkan anak didik telah kehilangan identitsnya. Peserta didik yang seharusnya dipersiapkan sebagai makhluk berfikir dan berdzikir dengan tidak mendikotomikan antara wahyu dengan akal, wahyu dengan alam dan ilmu agama dengan ilmu umum atau nonagama. Absennya humanisme religius dan hadirnya dikotomi dalam dunia pendidikan Islam hanya akan menyebabkan hilangnya semangat membaca dan meneliti yang dulu menjadi supremasi utama di dunia pendidikan Islam pada zaman klasik dan pertengahan.
Penerapan suatu paradigma baru yaitu humanisme religius sebagai solusi atas dikotomi keilmuan Islam yang merupakan penyebab utama atas terjadinya decadency culture in Islamic education, menjadi penting. Humanisme religius sebagai paradigma pendidikan Islam dimaksudkan sebagai tawaran metodologis munculnya sistem dikotomik dalam pendidikan Islam. Secara etimologi humanisme yang dimaksud itu sendiri berarti kesetiaan kepada manusia atau kebudayaan.
Abdurrahman Mas’ud membagi bentuk dikotomik dalam dunia pendidikan Islam menjadi tiga bentuk, yaitu:
  1. Ilmu agama dan ilmu nonagama (umum). Image ini juga telah membuat langgengnya supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotik.
  2. Image yang terakhir ini telah menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam. 
  3. Penerapan sistem hafalan yang tidak mengerjakan akal secara proporsional dan mengesampingkan makna, padahal makna jauh lebih penting karena menurut para ahli filsafat menyatakan bahwa lebih baik salah tapi jelas dari pada benar tapi samar-samar dan konsep ini sangat penting dalam meraih kebenaran ilmiah.
Ada tiga model dikotomi di dalam dunia pendidikan Islam; pertama, bahwa Islam adalah Religion of Nature, segala bentuk dikotomi antara agama dan sains harus dihindari. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan Ilahi yang menunjukkan kehadiran sistem global. Semakin jauh ilmuan mendalami sains, dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perenis yang dalam filsafat Islam disebut transedence. Iman tidak bertentangan dengan sains, karena iman adalah rasio dan rasio adalah alam. Konflik di antara keduanya hanya merupakan struggle antara dua kekuatan yang bertikai yang satu bersifat tertutup conservative sedang yang lain terbuka, seculler.
Kedua, alam adalah ciptaan Allah yang agung sekaligus sebagai bukti atas tanda-tanda keberadaan Allah maka alam merupakan wahyu yang tak tertulis. Untuk meraih kebenaran maka manusia harus membaca dan menganalisa wahyu Allah baik yang tertulis atau di sebut Qur aniyyah dan yang tidak tertulis atau alam atau di sebut Kauniyyah.
Ketiga, dalam pendidikan Islam seharusnya tidak ada dikotomi antara wahyu dengan alam sebagaimana keyakinan Ibnu Taimiyyah bahwa tidak terjadi pertentangan antara ration and revelation. Nabi Muhammad saw mengajarkan agar umat Islam tidak mengikuti tradisi taklid buta, yakni dengan meniru adat nenek moyang tanpa menggunakan akal kritis. Islam juga mengajarkan mempertahankan akal, harta benda, keluarga, martabat, kehormatan, nyawa dan agama adalah suatu keharusan bagi setiap individu. Maka sebaiknya wahyu dan akal tidak perlu dipertentangkan dalam Islam.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdurrahman Mas’ud, Tradisi Learning pada Era Pra-Madrasah, dalam Ismail SM (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Abdurrahman Mas’ud, Antologi Pendidikan Agama, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003). Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar