Skip to main content

Maulid Nabi saw; Pengertian dan Dalil

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 10, 2012

Secara etimologis, Maulid Nabi bermakna hari, tempat atau waktu kelahiran Nabi yakni peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw. Secara terminologi, Maulid Nabi adalah sebuah upacara keagamaan yang diadakan kaum muslimin untuk memperingati kelahiran Muhammad saw. Hal itu diadakan dengan harapan menumbuhkan rasa cinta pada Rasululllah saw. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad saw. wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw, dengan cara menyanjung Nabi, mengenang, memuliakan dan mengikuti perilaku yang terpuji dari diri Rasulullah saw.
Perayaan Isra Mi’raj, Nuzulul Quran, tahun baru Islam, hari Asyuraa, dan lain-lain. Di antara 40 dalil yang menjadi dasar Maulid Nabi antara lain:
“Dari Ibnu Abbas ra. berkata: bahwasanya Rasulullah ketika di Madinah beliau dapatkan orang Yahudi puasa pada hari Asyura, maka Nabi bertanya kepada mereka: hari apakah yang kamu puasakan ini? Jawab mereka: ini hari besar dimana Allah telah membebaskan Musa dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam ini karena bersyukur kepada Allah dan kamipun mempuasakan pula untuk menghormati Musa dibanding kamu. Maka Nabi berpuasa pada hari Asyura itu dan beliau menyuruh umat Islam untuk berpuasa pada hari itu. (HR. Bukhari Muslim)”.
Ibnu Hajar Astqalani, pengarang Fathul Bari mengatakan, bahwa hadis tersebut memiliki hikmah bahwa umat Islam dibolehkan bahkan dianjurkan agar memperingati hari-hari bersejarah, hari-hari yang dianggap besar seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.
Nabi saw, memperingati hari karamnya Fir’aun dan bebasnya Musa dengan melakukan puasa Asyura sebagai rasa syukur atas hapusnya yang bathil dan tegaknya yang hak.
Selanjutnya dalil yang berkaitan dengan Maulid Nabi sebagaimana disebutkan dalam Firman Allah swt. Surat al-A’raf ayat 157:
...(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.
Dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas bahwa orang yang memuliakan Nabi Muhammad saw, adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya. Ayat di atas sangat umum dan luas. Artinya, apa saja yang dikerjakan kalau diniatkan untuk memuliakan Nabi maka akan mendapat pahala. Yang dikecualikan ialah kalau memuliakan Nabi dengan suatu yang setelah nyata haramnya dilarang oleh Nabi seperti merayakan Maulid Nabi dengan judi, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.
Al-Qasthalani sebagaimana dikutip oleh Ja’far Murtadha al-‘Amaly berkata, bahwa selama umat Islam masih melakukan perayaan peringatan Maulid Nabi dan melaksanakan pesta-pesta, memberikan sedekah pada malam itu dengan berbagai macam kebaikan, menampakkan kebahagiaan, menambahkan perbuatan yang baik, melaksanakan pembacaan sejarah Maulid Nabi, dan mempeiihatkan bahwa Maulid tersebut mendatangkan berkah kepada mereka dengan keutamaan yang bersifat universal;
“... maka Allah pasti memberikan rahmat pada seseorang yang mengadakan perayaan Maulid tersebut sebagai hari besar, dan bila penyakit hatinya bertambah, ia akan menjadi obat yang dapat melenyapkannya.”
Ibn al-Hajj dalam bukunya, "al-Mudkhal”, menggambarkannya secara ekstrim. Ia menentang keras anggapan bid’ah, atau penurut hawa nafsu, bagi orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi. Menurutnya, sekalipun para penyanyi dengan alat-alat musiknya yang diharamkan turut meramaikan peringatan maulid, maka Allah tetap memberikan pahala, karena tujuannya yang baik.
Ibnu Ubaid dalam karyanya Rasailuhu al-Kubra menggambarkan sebagai berikut:
”... .menurut saya, peringatan Maulid adalah salah satu hari besar dari sekian banyak hari besar lainnya. Dengan semua yang dikerjakan pada waktu itu, karena merupakan ungkapan dari rasa senang dan gembira karena adanya hari besar tersebut, dengan memakai baju baru, mengendarai kendaraan yang baik, adalah masalah mubah (yang dibolehkan) tak seorangpun yang menentangnya.”
Ibnu Hajar berkata “Apa saja yang dikerjakan pada Maulid Nabi itu, dengan mencari pemahaman arti syukur kepada Allah, membaca al-Quran, sejarah hidup Nabi, makan-makanan, bersedekah, menyanyikan sesuatu yang bersifat pujian kepada Nabi dan kezuhudannya, dan kalaulah hal itu diikuti dengan permainan-permainan yang diperbolehkan, maka tentu hukumnya peringatan itu mubah, dengan tetap tidak mengurangi nilai kesenangan pada hari itu. Hal itu tidak dilarang dan perlu di teruskan. tapi kalau diikuti dengan hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan, maka dilarang. Begitulah apa yang menjadi perbedaan dengan yang pertama.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hizbut Tahrir Indonesia. Bulletin Al-Islam, (Edisi 348/Tahun XIV, tahun 2007). Ja’far M urtadha al-‘Amaly, Perayaan Haul dan Hari-hari Besar Islam Bukan Suatu yang Haram, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar