Skip to main content

Pengertian Ahl al-Ra'yu dalam Fikih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 11, 2012

Kata Ra’yu adalah mashdar dari kata “ رأي “, yang secara etimologi berarti melihat. Kata ra’yu atau yang semakna, banyak terdapat dalam al-Quran. Semua memberi isyarat terhadap penggunaan akal pikiran manusia mengenai alam sekitarnya.
Ahl al-Ra’yu yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah golongan ulama fikih Islam yang berpegang atau berpedoman kepada hasil penelitian nalar atau qiyas.
Amir Syarifuddin mengemukakan bahwa hukum syariat dapat ditemukan dalam tiga kemungkinan, sebagai berikut :
  1. Hukum syariat dapat ditemukan dalam lafaf al-Quran menurut yang disebutkan secara harfiah. Bentuk ini disebut hukum yang tersurat dalam al-Quran.
  2. Hukum syariat tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafal al-Quran maupun Sunnah, tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafal yang disebutkan dalam al-Quran. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum yang tersirat di balik lafal al-Quran.
  3. Hukum syariat tidak dapat di temukan dari harfiah lafal dan tidak pula dari isyarat suatu lafal yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah, tetapi dapat ditemukan dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut hukum yang tersirat (tersebunyi) di balik al-Quran.
Usaha mengetahui hukum yang tersirat dari suatu lafal, dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunakan nalar atau Ra’yu yang tinggi untuk mengetahui hakikat dan tujuan suatu lafal, sehingga memungkinkan untuk merentangkan hukum yang ditentukan dalam lafal tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan di balik lafal itu.
Usaha perentangan tersebut, bisa terjadi dengan dua cara, yaitu pertama; perentangan suatu lafal kepada maksud lain dapat dilakukan dengan pemahaman lafal semata. Dalam Ushul Fikih cara seperti ini disebut menggunakan kaedah mafhum, baik mafhum muwafaqah maupun mafhum mukhalafah. Misalnya, larangan memukul orang tua dipahami dari larangan mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka. Kedua; Perentangan suatu lafal kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafal semata, tetapi tergantung pada pemahaman alasan hukum atau illat. Cara perentangan lafal dalam bentuk ini disebut menggunakan kaedah qiyas. Menurut Hamka Haq bahwa perinsip berlakunya qiyas adalah kesamaan illat hukum, dengan asumsi bahwa dua hal yang sama illatnya pasti mempunyai hukum yang sama pula.
Ciri Ahl al-Ra’yi dalam menggali status hukum suatu masalah menggunakan qiyas, istihsan dan mashalahat mursalah. Sehingga Ahl al-Ra’yi sangat berani mengembangkan alternatif hukum sebelum ditetapkan dengan mengangkat atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan, bagaimana kalau begini dan bagaimana kalau begitu. Di samping itu, sangat selektif dalam pemakaian hadis. Hal ini dilatarbelakangi karena Kufah ketika itu merupakan kota metropolitan yang diliputi berbagai fitnah serta kebohongan akibat suhu politik yang terus memanas, semenjak peralihan Ali bin Abi Thalib ke Muawiyah bin Abu Sufyan sampai pertengahan periode Amawy.
Sebenarnya penggunaan akal dan ijtihad dalam penetapan hukum sudah ada semenjak zaman Rasulullah saw. Contoh, ketika Muadz bin Jabal ditanya oleh Rasulullah bagaimana ia menetapkan hukum, jika ia tidak menemukan dalam al-Quran dan Hadis. Demikian juga, ketika Umar bin Khattab menanyakan kepada Nabi tentang hukum seorang yang mencium istrinya dalam keadaan berpuasa. Nabi menyamakan dengan hukum berkumur-kumur dengan mencium istri dalam keadaan berpuasa.
Salah satu tokoh monumental yang dilahirkan oleh Ahl al-Ra’yi adalah Imam Abu Hanifah, dengan identitasnya lebih maju dan lebih menusuk pada kepentingan sosiologis. Baliau bahkan menggeser hadis-hadis ahad dalam konteks penyelesaian problema-problema hukum untuk berbagai kejadian aktual, dan menggantikan dengan qiyas dan istihsan.
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama fikih Ahl al-Ra’yi dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbatkan dari al-Quran dan Hadis beliau banyak menggunakan nalar, beliau lebih mengutamakan ra’yu daripada hadis ahad. Sehingga mazhab Abu Hanifah terkenal dengan sebutan mazhab ra’yu.
“Saya mengambil hukum dari al-Quran, jika saya tidak mendapatkannya dari al-Quran, maka saya bersandar kepada sabda-sabda Rasul yang sahih dan yang terdapat di kalangan orang-orang yang bisa dipercaya. Bila dalam al-Quran dan Hadis tidak saya temukan sesuatupun, maka saya beralih kepada keterangan para sahabat. Saya mengambil mana yang saya kehendaki dan meninggalkan mana yang saya kehendaki. Setelah berpijak pada pendapat para sahabat, saya menengok kepada pendapat orang-orang lain. Jika telah sampai kepada pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, Hasan Basri, Ibnu Sirin, Sa’id bin Musayyab, sambil beliau mengemukakan beberapa nama ulama besar dari para mujtahid, maka aku pun berhak melakukan ijtihad sebagaimana yang mereka lakukan.”
Bardasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Ahl al-Ra’yi dalam menetapkan suatu hukum fikih selain berdasar kepada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw, dan fatwa para sahabat dan pada tempat-tempat tertentu lebih banyak mempergunakan ra’yu, khususnya pada hal-hal yang belum jelas dasar hukumnya dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
A.W. Munawir, Kamus al-Munawir, Edisi II (Cet. IV; Surabaya : Pustaka Progressif, 1997). Abu Ishaq al-Syathiby, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I (Baerut : Dar al-Ma’rifah, t. th). Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, (Cet. I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997). Departemen Agama RI Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta : PT. Bumi Restu, 1980). Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cat. IV ; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996). Huzaimah Tahido Yonggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Cat. I ; Jakarta : Logos, 1997).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar