Skip to main content

Kemunculan Fundamentalisme-Radikalisme Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 19, 2012

Fazlur Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodoksi untuk kemunculan gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan ortodoksi ini bangkit dalam menghadapi kerusakan agama dan kekendoran serta degenerasi moral yang merata di masyarakat muslim di sepanjang propinsi-propinsi Kerajaan Utsmani (Ottoman) dan di India. Ia menunjuk gerakan Wahabi yang merupakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang diidentikan sebagai fundamentalisme.
Sehingga sejak saat itu, istilah “fundamentalisme” dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia dan mempunyai pola-pola tertentu.
Dalam perkembangannya, fundamentalisme-radikalisme dalam agama muncul karena ketidakmampuan umat Islam dalam menghadapi sekularisme-modernitas dan perubahan. Dalam bahasa Bruce sebagaimana dikutip Mark Juergensmeyer, ia menyebutkan “the fundamentalism as a global concepts, for it suggest a religious revolt against the secular ideology that often accompanies modern society”. Fundamentalis-radikalisme itu merupakan mekanisme pertahanan yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. Yaitu krisis keadaan yang akan menentukan eksistensi umat manusia, akibat pengaruh modernitas yang berkembang pada masa kini. Kaum fundamentalis-radikalis biasanya melakukan “perlawanan” terhadap realitas yang ada. Perlawanan terhadap siapa saja yang dianggap di luar atau berbeda dengan pandangan dan keyakinan keagamaannya.
Dalam pandangan R.Scott Appleby, setidaknya ada tiga tipologi penyebab kemunculan fundamentalisme agama. Pertama, fundamentalisme yang muncul karena didorong oleh paham teologi negara. Kedua, fundamentalisme agama muncul disebabkan agama (teologi) bersifat acuh tak acuh terhadap problem sosial, ekonomi, politik, hukum dan kehidupan agama masyarakat. Ketiga, fundamentalisme agama muncul karena pemahaman dan perspektif teologi yang lebih membela kaum dhu’afa, bukan teologi yang elitis. Dengan tipologi ini, kaum fundamentalis kemudian memahami ajaran agama secara rigid, non-kompromi, bahkan kekerasan, dimana negara agama menjadi propagandis utamanya. Memang jika dilihat sekilas, sebenarnya kaum fundamentalis-radikal biasa-biasa saja, menjadi tidak biasa ketika mereka menerapkan absolutisitas pandangan, tidak mau kompromi dan dialog.
Dalam pandangan kaum fundamentalis-radikal, bentuk ideal keagamaan masyarakat dijawab dengan nostalgia sejarah melalui ajakan untuk selalu kembali ke masa lalu. Corak-corak dasar inilah yang membentuk sikap, pola pikir, serta perilaku keberagamaan seseorang. Ajaran agama harus senantiasa merujuk kepada hal yang fundamental, dan setiap agama tentulah mensyaratkan hal itu. Hanya saja, yang sering diperselisihkan adalah mengapa sikap fundamental itu bersifat dokrinal dan cenderung kaku sehingga ia tidak kuasa bergerak elastis mengikuti kelenturan perkembangan sosial? Dalam bahasa Abid al-Jabiri ketika upaya kebebasan (ijtihad) dibekukan dan klaim kebenaran telah final dipetakan, saat itulah fundamentalisme lahir dengan keperkasaan yang dipaksakan. Oleh sebab itu, fundamentalisme yang pada dasarnya bersifat positif lalu bergerak liar menjadi negatif dan destruktif. Ruh agama tak lagi dijadikan kekuatan pembebas yang menjunjung nilai luhur kemanusiaan (humanisme) dalam porsi yang pantas. Sebaliknya, ia justru dijadikan kekuatan penebas yang memenggal paham dan pemikiran yag berbeda dan tak selaras. Tepat di aras inilah sebenarnya urat nadi persoalan fundamentalisme agama terterakan sebagai makna yang pejoratif. Maraknya terorisme yang sering dikait-kaitkan dengan Fundamentalisme-Radikalisme Islam membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra Islam yang baik, damai, dan mengayomi semua umat manusia.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Fazlur Rahman, Islam, London: The University of Chicago Press, 1979. http://luluvikar.wordpress.com/2008/04/02/kaum-fundamentalis-dalam-islam/-_ftn6.Mark Juergensmeyer, The new Cold War? Relious Nationalism Confronts the Secular State, London: University of California Press, 1994. Zuly Qodir, Syariah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar