Skip to main content

Pencapaian Fana'-Baqa' Abu Yazid

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 13, 2011

Kata fana’ dikaji dari aspek bahasa berasal dari kata faniya, yang artinya musnah atau lenyap. Fana’ merupakan sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena dan bahkan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan sehingga yang betul-betul ada secara hakiki dan abadi di dalam kesadarannya adalah wujud mutlak. Fana’ الفناء = hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana’merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini Abu Bakar al-Kalabadzi mendefinisikannya: "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Fana’-baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui penerangan yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena perjalanan ini diidentikan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifat-sifat tercela, maka barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat terpuji.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana' dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan: "Permulan adanya aku di dalam wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah. (tetap dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juta kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah olehku pohon ahdiyat" (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya.
Abu Yazid yang pertama sekali menimbulkan paham tentang fana’dan baqa’ dalam tasawuf. Ia senantiasa ingin dekat dengan Tuhan. Seperti dapat dilihat dari ucapannya yang senantiasa mencari-cari jalan untuk berada di hadirat Tuhan. “Aku bermimpi melihat Tuhan. Aku pun bertanya: “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadaMu?“ Ia menjawab: “Tinggalkan dirimu dan datanglah”. Dalam Risalah Qusyairiyah  dikemukakan Yazid pernah ditanya: “Bagaimana anda sampai pada tahap ini?“ Ia Menjawab: “Dengan perut yang lapar dengan tubuh yang telanjang”. Abu Yazid juga pernah berkata: “Aku telah mentalak tiga kehidupan dan tidak akan kembali lagi padanya”.
Pengertian di atas dipahami, bahwa yang lebur atau fana’ itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusia tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya. Dengan demikian, maka upaya mencapai tingkat fana’ dalam konteks Abu Yazid, maka dititikberatkan pada meninggalkan diri secara lahiriah dan menfokuskan diri pada status rohaniah untuk dapat bersama dengan Tuhan. Sedangkan baqa’ artinya tetap, terus hidup, bahwa baqa’ adalah sifat yang mengiringi dari proses fana’. Dengan berusaha meninggalkan diri itu, ia sampai kepada fana’. Baqa’ dari kata baqiya yang berarti tetap atau menetap dalam Allah swt. untuk selamanya. Dalam istilah dunia tasawuf baqa’ adalah mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah swt. faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’, keduanya merupakan paham yang berpasang.
Jika demikian, maka setelah mencapai fana’ atau terlupakannya diri secara lahiriah, maka selanjutnya yang terjadi adalah kebersamaan rohaniah ini terhadap Tuhan secara kekal. Atau dapat dikatakan bahwa Abu Yazid setelah mencapai tingkat fana’ maka ia pun (rohaniahnya) secara terus menerus tetap bersama-sama dengan Tuhan.
Proses penghancuran diri (fana’) rupanya tidak dapat dipisahkan dari baqa’ (tetap terus hidup). Maksudnya adalah apabila proses penghilangan sifat manusia (yang tercela) dari hasil penghancuran tersebut, maka muncul kemudian sifat yang lain (terpuji).
Abu Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat memperhatikan syariat dan ajaran agama, meskipun beliau hampir selalu dalam keadaan “mabuk” hingga saat shalat tiba, ketika waktu shalat telah tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan shalatnya, apabila dikehendaki ia kembali kepada fana’. Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama, bahkan ketaatan menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa diupayakan semaksimal mungkin dalam rangka memenuhi standar untuk menjaga kesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang akan mengganggu kebersihan jiwanya.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar