Skip to main content

Biografi Hasyim Asy'ari; Pendiri Pesantren Tebuireng

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 28, 2012

Hasyim Asy’ari dilahirkan dalam lingkungan kiyai di dekat kota Jombang Jawa Timur tanggal 14 Januari 1871 M. bertepatan dengan tahun 1287 H. Tidak didapatkan tanggal hijrahnya dan wafat di desa Tebuireng tanggal 25 Juli 1947 M. bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan 1366 H., mendekati umur 79 tahun.
Hasyim Asy’ari adalah keluarga kiyai. Kakek buyutnya adalah Kiyai Shihab pendiri dan pengasuh pesantren Tambak beras. Kakeknya, Kiyai Usman yang menjadi pendiri dan pengasuh pesantren Gedang, tokoh tarekat yang memiliki banyak murid. Sedangkan ayahnya Hasyim Asy’ari yang berasal dari Demak adalah pendiri dan pengasuh pesantren Keras Jombang.
Bahkan Asad Syihab mengatakan nasab Hasyim Asy’ari dari garis ayahnya sampai kepada keluarga Alu Syaiban dari keturunan para da’i Arab Muslim yang datang ke Indonesia pada abad ke 4 H., untuk menyebarkan Islam ke Asia Selatan dan mendirikan bangunan pusat agama Islam dan kesultanan-kesultanan Islam yang dikenal dengan kesultanan Alu’Adhamah Khan. Mereka ini keturunan Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir. Nama ibunya adalah Halimah, putri dari K. H. Usman Jombang. Hasyim asy’ari adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara, masing-masing adalah Nafi’ah, Ahmad Saleh, Muhammad Hasyim, Radiah, Hasan, Anis, Fathonah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.
Ketika berumur 14 tahun, Hasyim Asy’ari belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Ia menjadi santri pesantren Wonokoyo, Probolinggo, kemudian pindah ke pesantren Langitan, Tuban, menyusul ke pesantren Trenggilit Semarang. Ternyata ilmu yang diperolehnya belum memberikan kepuasan batin. Karena itu pada tahun 1891-1892 ia melanjutkan studinya di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, dan dari sinilah ia memperoleh kepuasan ilmiah.
Karena kecerdasan intelektual dan kejernihan batinnya Kiyai Yakub menjadikan Hasyim Asy’ari menantunya pada tahun 1892, yang dikawinkan dengan anaknya Khadijah. Maksud gurunya dapat diterima baik oleh Hasyim Asy’ari, karena hal itu bukan saja merupakan suatu kehormatan bagi seorang santri sebagaimana yang berlaku dalam dunia pesantren, tetapi juga penerimaan tersebut sekaligus merupakan tanda ketaatan seorang santri terhadap gurunya yang dianggap sebagai orang tuanya sendiri.
Setelah perkawinan Hasyim Asy’ari dengan Khadijah, gairah belajarnya semakin bertambah. Hasyim Asy’ari bersama istrinya kemudian berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pelajarannya. Pada waktu ia berada di Mekkah, Hasyim Asy’ari sempat belajar kepada banyak ulama, antara lain; Syekh Mahfudh al-Turmuzi ahli hadis yang pada akhirnya keahlian itu diwarisi oleh Hasyim Asy’ari dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau yang waktu itu bertepatan saat Muhammad Abduh sedang gencarnya melakukan gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam. Dan saat itu pulalah informasi Muhammad Abduh banyak memberi inspirasi dan pengaruh ulama-ulama Indonesia yang belajar di Mekkah setelah kembali ke Indonesia.
Pada tahun 1899 Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia dengan membawa bekal ilmu pengetahuan untuk siap disumbangkan ke tanah airnya, sehingga tidak lama kemudian ia mengajar di Pesantren Gedang yang didiriikan oleh kakeknya Kiyai Usman. Dan pada tahun yang sama ia mendirikan pesantren Tebuireng. Sebagian penulis sejarah mengemukakan bahwa pada awal berdirinya jumlah muridnya hanya sekitar 28 orang, ada juga berpendapat bahwa santri partamanya kurang dari jumlah tersebut, yakni antara 8 sampai 28 orang, dari jumlah inilah yang terus berkembang dari tahun ke tahun, sehingga menjadi pesantren terkenal dan terbesar di Indonesia ketika itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Zamaksyari Dhofer, Tradisi Pesantren (Cet. III; Jakarta: LP3S, 1984). Muhammad Asad Syihab, al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadhin Istiqlal Indonesia (Baerut: Dar al-Shadr, t. th). Imran Arifin, Kepemimpinan Kiai (Cet. I; Malang: Kalimah Syahadah Press, 1993). Salihin Salam, K. H. Hasyim Asy’ari Ulama Besar Indonesia (Jakarta: Jaya Murni, 1963). Syaiful, Karangan Ulama (Bandung: Mizan, 1998). H. Abubakar, Sejarah Hidup Kiyai Haji Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar (Jakarta: t. tp.:, 1957). Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Cet. VI; Jakarta: LP3S, 1982). Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta: Muliaro, 1995).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar