Skip to main content

Dasar Hukum tentang Wali Nikah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 21, 2013

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Memang tidak ada satu pun ayat al-Quran yang jelas menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Tetapi dari ayat tersebut dapat dipahami menghendaki adanya wali .
Diantara ayat-ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah surat al-Baqarah ayat 232 yang artinya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui '
Kalau sang istri telah habis masa iddahnya, dan tidak ada halangan lain yang ditetapkan agama, maka bekas suami, para wali, atau siapapun tidak boleh melakukan, yakni menghalang-halangi mereka, wanita itu menetapkan sendiri masa depannya menyangkut perkawinan. Siapa saja yang dipilihnya baik suami mereka yang telah pernah menceraikannya, maupun pria lain yang ingin dikawininya dan bakal menjadi suami-suami mereka, maka itu adalah haknya secara penuh, karena janda berhak atas dirinya daripada yang lain.
Ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak mempunyai hak dal am perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-halangi.
Dari pemahaman ayat tersebut, jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) menetapkan keharusan adanya wali dalam perkawinan. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan ulama Syiah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasionalnya ialah orang yang telah dewasa dan sehat akalnya dapat bertindak hukum dengan sendiri tanpa diperlukan bantuan walinya.
Jumhur ulama di samping menggunakan ayat-ayat diatas sebagai dalil yang mewajibkan wali dalam perkawinan, mereka menguatkan pendapatnya itu dengan serangkaian hadis dibawah ini:
Hadis Nabi dari Abu Burdah bin Abi Musa menurut riwayat Ahmad “Tidak boleh nikah tanpa wali.”
Hadis Nabi dari Aisyah yang dikeluarkan oleh empat perawi hadis selain al-Nasa’i; “Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya batal .”
Hadis dari Abu Hurairah yang mengutip ucapan Nabi: “Perempuan tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.”
Hadis tersebut diatas digunakan oleh ulama Hanafiyah dan pengikutnya untuk menguatkan pendapatnya dalam memahami ayat-ayat al-Quran tersebut sebelumnya untuk menetapkan tidak wajibnya wali bila yang melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan akal sehat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UII press, 1986).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar