Skip to main content

Biografi Ali Syari’ati

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 27, 2012

Ali Syari’ati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar Propinsi Khorasan, Iran. Desanya di tepi gurun pasir Dasht-I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran.
Ali Syari’ati lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi’ Syari’ati, seorang ulama terkenal di Iran sekaligus guru pertamanya, yang mendidiknya sendiri secara langsung sejak kecil. Tahun-tahun pembentukan pribadi dalam kehidupan Syari’ati, dijalaninya bersama ayahnya, meninggalkan bekas yang kuat pada pribadinya.
Ali Syari’ati berbeda dengan anak seusianya. Di Sekolah Dasar, dia telah membaca buku Les Mise ’ables karya Victor Hugo yang diterjemahkan ke bahasa Persia, buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram. Dia juga mempelajari karya Saddeq-e Hedayat, Novelis Iran beraliran nihilis, Nima Yousheej, bapak syair modern Iran, Akhavan Saless, penyair kontemporer Iran, dan Maurice Maeterlinck, penulis Belgia yang memadukan mistisme dengan simbolisme.
Ali Syari’ati seorang pendiam, tidak mau diatur tapi rajin. Dia dipandang sebagai penyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar, karena itu dia tampak tidak bermasyarakat. Menurut teman sekelasnya, dia tidak banyak bergaul dengan teman sekelas, tidak bermain sepak bola, olah raga yang lazim untuk anak seusianya. Di kelas, dia selalu memandang ke luar jendela, tidak memperhatikan dunia sekelilingnya.
Ali Syari’ati sendiri mengakui, bahwa ia mengalami krisis kepribadian antara tahun 1946-1950, ini berarti antara usia 13-17 tahun. Kesejukan, ketenangan, dan keyakinan akan eksistensi Tuhan yang dirasakannya berubah menjadi kegelisahan karena keraguan. Baginya, gagasan tentang eksistensi tanpa Tuhan sempat dirasa menakjubkan, sepi dan asing. Hidup dirasakannya suram, kering dan hampa. Ia merasa jauh terseret ke jalan buntu filosofis yang jalan keluarnya ia akui hanya bisa ditembus dengan cara bunuh diri atau gila. Bahkan pada suatu malam di musim dingin, ia berpikir­pikir untuk bunuh diri di Estakhr-e Koohsangi yang romantis, di Masyhad.
Ali Syari’ati tekun belajar bahasa Arab dan ilmu­ keagamaan. Setelah menyelesaikan sekolah menengahnya, dia melanjutkan ke Akademi Pendidikan Guru, dan itu dilakukannya karena minatnya yang besar terhadap seni mengajar. Sejak saat itu, Ali Syari’ati memulai karirnya dengan menjadi seorang penulis, buku karangannya semisal al-Madzhab al-Wasith dalam filsafat sejarah dan penguasannya yang baik terhadap bahasa Arab dan Perancis telah memungkinkan dirinya menerjemahkan beberapa kitab dari kedua bahasa tersebut ke bahasa Persia, antara lain Abu Dzar al-Ghifari (dari bahasa Arab) dan al-Du’a (dari bahasa Perancis), di samping memberikan kata pengantar yang amat berbobot untuk dua buku terjemahnya tersebut, yang di dalamnya dia memaparkan pemikirannya yang objektif.
Selain menulis, Ali Syari’ati mulai pula menyampaikan berbagai ceramah dan kuliah di Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah di Masyhad yang didirikan oleh ayahnya. Markaz Nasyir al-Haqaiq al-Islamiyyah di Masyhad mempunyai andil besar dalam berbagai aktivitas yang terjadi di samping dekade tiga puluhan, dan berpengaruh terhadap kehidupan para praktisi dan kaum terpelajar. Lembaga ini memainkan peran yang sangat besar dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Ali Syari’ati, dan sebaliknya.
Ketika berumur 23 tahun, Ali Syari’ati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Di sinilah Syari’ati untuk pertama kali masuk penjara selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim, di bawah pimpinan Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) Cabang Masyhad.
Setelah lulus dari Universitas Masyhad ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Sorbonne, Perancis atas beasiswa pemerintah Iran. Di Sorbone inilah, ia menjalin hubungan secara pribadi dengan para intelektual terkemuka, seperti Louis Massignon, seorang Islamolog Perancis beragama Katholik, Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialism “Che” Guevera, dan Jacques Bergue. Dia juga bertemu dengan Henri Bergson dan Albert Camus.
Ali Syari’ati sangat tertarik untuk mempelajari studi keislaman dan sosiologi. Aliran sosiologi Prancis yang analitis dan kritis rupanya sangat berkesan padanya, namun meskipun pernah tertarik oleh sosiologi semacam ini, pandangan sosiologi Syari’ati adalah gabungan antara ide dan aksi. Pendekatan positivis terhadap masyarakat yang menganggap sosiologi sebagai ilmu mutlak, maupun pendekatan Marxis murni baginya tidaklah menyakinkan. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak mampu memahami atau menganalisa kenyataan-kenyataan di dunia non industri, yang sering disebut sebagai dunia ketiga. Karena itu, Syari’ati terus mencari sosiologi yang bisa menafsirkan dan menganalisa kenyataan-kenyataan kehidupan rakyat yang berada di bawah tindakan imperialisme, yang akhirnya disetujui oleh kaum komunis Eropa, dalam perjuangan mereka merebut kembali martabat dan kemerdekaan.
George Gurvich, profesor sosiologi Universitas Sorbonne sangat berpengaruh pada diri Ali Syari’ati. Gurvich adalah seorang komunis yang membelot melawan kediktatoran Stali, fasisme dan penjajahan Perancis atas Aljazair. Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan melawan ketidakadilan ini sedikit banyak membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dari dia pula, Ali Syari’ati menyerap pandangan tentang konstruksi sosiologi Marx, khususnya analisis tentang kelas sosial dan “truisme” (Itsar). Dari Jaegues Berque, Syari’ati menyerap wawasan sosiologi Islam, sedangkan dengan Fanon, ia sering berkorespondensi dan saling bertukar ide tentang peran Islam seputar tema anti kolonialisme.
Dalam pergerakan di Perancis itu, Syari’ati menjadi redaktur jurnal Iran-e Azad (free Iran) yang baru didirikan organisasi itu. Dia juga menulis di jurnal Nameh-e Par, dan menyumbangkan revolusioner al-Jazair, al-Mujahid. Karena peduli dengan gerakan revolusi dunia ketiga itulah, Syari’ati akrab dengan pemikiran, seperti Franz Fanon (wafat 1961), Aime Cesaire dan Amilcar Cabral (wafat 1973).
Bahkan dia sempat ditahan karena memberikan kuliah kepada para mahasiswa revolusioner Kongo. Satu sumber menyatakan bahwa, Syari’ati ditahan di Paris karena aktivitasnya dalam gerakan pembebasan Aljazair dan dikirim ke City Prison.
Keberadaan Syari’ati di Paris bersamaan pula dengan masa-masa munculnya kebangkitan baru dalam mengembangkan sayap-sayap kemajuan gerakan keagamaan di dalam negeri Iran. Tidak memakan waktu lama, muncullah gelombang gerakan kebebasan yang melanda Iran. Dan penguasapun segera melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh­tokoh gerakan kebebasan negeri ini. Sebagian di antara mereka ditembak mati, dan sebagian lagi dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa secara keji, yang ditujukan pula untuk menghancurkan gerakan nasionalis dan keagamaan, khususnya para tokoh gerakan kebebasan Iran.
Dalam gerakan inilah, Ali Syari’ati termasuk dan melibatkan diri, tanpa henti dia menulis dan memproklamirkan apa yang diyakininya sebagai suatu yang hak serta menganalisa gerakan Islamiyah yang telah terbentuk di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Sementara itu, sebagian besar penerbitan berbahasa Persia di luar negeri selalu saja bernada non agama, bahkan anti agama, sekalipun gerakan di dalam negeri Iran secara fundamental adalah Islamiyah dan seluruh asasnya adalah ideologi keagamaan progresif. Para intelektual Iran di luar negeri cenderung mengabaikan kenyataan sosial dalam negeri Iran serta hakikat perjuangan rakyatnya, karena maksud buruk, persekongkolan diam-diam ataupun kebodohan mereka.
Setelah memperoleh gelar doktor, pada 1964 ia kembali ke Iran. Dalam perjalanan pulang ke Iran, ia ditangkap di perbatasan lalu dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan bahwa ketika sedang kuliah di Prancis ia telah terlibat dalam berbagai aktivitas politik. Setelah dibebaskan pada tahun 1965 ia mulai mengajar di Masyhad University. Sebagai seorang pakar sosiologi muslim, menurut prinsip-prinsip Islam, menjelaskan dan mendiskusikan prinsip-prinsip itu bersama para mahasiswanya. Dalam waktu singkat ia meraih popularitas di kalangan mahasiswa dan berbagai golongan sosial yang berbeda di Iran. Inilah yang dijadikan alasan oleh rezim penguasa untuk menghentikan kuliah-kuliahnya di Universitas.
Pemecatan Syari’ati dari universitas Masyhad tidak menghentikan kegiatan-kegiatannya. Bahkan, kejadian itu memberinya kesempatan untuk memasuki panggung baru sebagai pemikir dan aktivis revolusioner. Ia kemudian pindah ke Teheran dan menjadi anggota dewan pengurus Husayniyah Irsyad. Dengan menjadikan Husayniyah Irsyad sebagai lembaga pengetahuan, penelitian dan dakwah Islam yang besar, Syari’ati berusaha mempersiapkan generasi muda Iran untuk pergolakan revolusioner. Ia mengajari mereka, bahwa Islam bukan hanya susunan kepercayaan yang religius, melainkan pula sebuah ideologi revolusioner yang lain bisa menentang segala bentuk pelanggaran dan gangguan Barat terhadap Iran.
Tahun 1969 adalah masa-masanya yang paling produktif. Salah satu kuliahya di bulan Oktober 1968, diterbitkan dengan judul Ravisy-I Syinakh-I (Approaches to the understanding of Islam, Cara Memahami Islam). Pada tahun 1969 ini juga, otobiografinya berjudul Kavir (Padang Garam) diterbitkan.
Sejarah telah mencatat bahwa perjalanan hidup Ali Syari’ati ditumpahkan dalam perjuangan menegakkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan serta melawan segala bentuk eksploitasi dan penindasan dengan menandaskan Islam sebagai basis ideologinya. Perjuangan itu tidak hanya diwujudkan dalam dataran intelektual, namun juga melalui perjuangan praksis. Ali Syari’ati hidup saat Iran digoncang oleh persoalan yang sangat rumit, Iran di bawah pemerintahan Syah Pahlavi telah menggerogoti budaya religius Islam yang mestinya punya tanggung jawab moral terhadap kondisi sosial, ekonomi, politik dan kultural masyarakat. Upaya meniadakan daya hidup ini secara lebih khusus ditujukan kepada generasi muda. Para pemuda didorong ke jurang pengasingan diri (self alienation). Hal ini mengakibatkan peranan mereka dalam masyarakat sangat dangkal dan adakalanya menyimpang.
Ketika Syah Iran hendak mengadakan pesta megah 2500 kerajaan Persia, dalam rangka tahun baru Iran (Naruz), Ali Syari’ati bercerita tentang 5000 tahun penindasan di Iran. Pada 13 November 1971, ia melancarkan pidatonya yang terkenal “Tanggung Jawab Seorang Syi’ah”, yang berisi agitasi militan dan revolusioner untuk mengajak mahasiswa-mahasiswanya meruntuhkan rezim Syah.
Ali Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama resmi yang disebutnya sebagai “Borjuasi Kecil” bahkan lebih pedas ia mencemooh mereka “sebagai anjing dan keledai” menurutnya, banyak ulama yang berpandangan sangat picik yang hanya bisa mengulang-ulang doktrin Fiqh secara bodoh. Karena kekritisannya, Syari’ati akhirnya dianggap pemerintah Syah sebagai “srigala ganas” yang harus disingkirkan dan dimusnahkan. Ia pun difitnah sebagai seorang “marxisme” dan kemudian dipenjarakan pada tahun 1973.
Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes dari dunia internasional, pada 20 Maret 1975, terpaksa Syari’ati dibebaskan. Walaupun dibebaskan, Ali Syari’ati tetap diawasi dengan ketat. Menyadari dirinya diawasi dan dibatasi serta tidak bisa berkembang di Iran, Syari’ati pergi ke London, Inggris. Tetapi pada 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di South Hamton, Inggris. Pemerintah Iran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran.
Syari’ati lalu dikuburkan di Damaskus, Suriah, bersebelahan dengan makam Zainab, cucu Nabi dan Saudara perempuan Imam ketiga, Husain bin Ali, pada 27 Juni 1977. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Sadr pemimpin Syi’ah Lebanon. Kematiannya menjadi mitos “Islam militan”, popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Pebruari 1979. saat itu, fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran, berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hadi Mulyo, Manusia dalam Perspektif Humanisme Agama; Pandangan Ali Syari ’ati, dalam M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987). Ali Rahmena, “Warisan Politik Ali Syari’ati”, dalam Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995). Ali Syari’ati, “Menjawab Beberapa Soal”, dalam John L Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: Rajawali, 1987). Ali Syari’ati, On The Sociology of Islam, (Bandung: Mizan Press, 1979). Ahmed Nurullah, “Genesis: Dari Dentuman Besar ke Revolusi”, dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat, (Jakarta: Lentera, 1999). Ahmad Amrullah, Karangka Masalah Perguruan Tinggi Islam, Sebuah Ikhtiar Mencari Pula Alternatif Telaah Kasus IAIN dalam Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991). Ali Syari’ati, Islam Madzab dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1995). Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992). Ghulam ‘Abbas Tawassuli, “Sepintas tentang Ali Syari’ati”, terj. Afif Muhammad, Humanisme; Antara Islam dan Madzhab Barat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996). Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, (Jakarta: al­-Huda, 2001). Ekky Malaky, Ali Syari ’ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar