Skip to main content

Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Internasional

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 15, 2011

R. Subekti memberikan definisi hukum internasional sebagai suatu tata hukum, dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antar negara dan dalam rangka itu, mengatur pula hubungan di antaranya.
J. G. Starke memberikan definisi hukum internasional sebagai keseluruhan hukum, yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah prilaku, yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dalam hubungan mereka satu sama lain. Kaidah-kaidah yang dimaksud meliputi:
  1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu;
  2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajibannya yang penting bagi masyarakat internasional.
Definisi di atas menunjukkan bahwa hukum internasional adalah suatu sistem yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban antar negara. Unsur pokok dari sistem tersebut diwakili oleh kaidah-kaidah yang mengikat, yang membebankan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak-hak kepada negara-negara yang ada.
Tujuan utama adanya hukum internasional lebih mengarah kepada upaya untuk menciptakan ketertiban, daripada menciptakan sistem hubungan-hubungan internasional yang adil. Dalam perkembangannya, telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjamin secara obyektif dan terciptanya keadilan di antara negara-negara.
Dengan adanya hukum internasional, negara-negara telah memperoleh perlakuan adil, yang tentunya tidak terlepas dari tujuan hukum bangsa-bangsa modern, untuk menjamin keadilan bagi umat manusia. Keberadaan hukum internasional merupakan keperluan timbal balik antar negara-negara. Tanpa adanya hukum internasional, maka masyarakat internasional tidak dapat menikmati keuntungan-keuntungan perdagangan dan komersial, saling pertukaran gagasan dan komunikasi rutin yang sewajarnya.
Dasar-dasar Hubungan Internasional dalam Hukum Islam
Islam sebagai agama terakhir yang diwahyukan Tuhan, berfungsi sebagai pedoman hidup, sekaligus mengatur hidup manusia di dunia berbeda kebangsaan dan warna kulitnya di seluruh penjuru alam. Karenanya, hukum Islam yang tegak di atas agama Islam merupakan hukum yang bersifat ‘alamiyah (universal), bukan hukum yang bersifat lokal.
Dapat dipahami bahwa hukum Islam datang untuk mengatur tata perbuatan manusia, dalam rangka persahabatan dan kerja sama antara satu bangsa dengan bangsa lain dalam segala aspek kehidupan, untuk memenuhi hajat kebutuhan masing-masing, dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dasar pijakan hukum Islam sebagai perundang-undangan internasional, mengacu kepada pandangan humanitas yang sempurna, mendudukkan hak-hak asasi manusia dengan amat mulia pada proporsi keadaan ciptaan fitrah manusia itu sendiri.
Prinsip-prinsip Internasionasionalitas dalam Hukum Islam
Hukum Islam, di samping mengatur soal-soal agama, juga mengatur persoalan kemasyarakatan. Maksudnya, hukum Islam, di samping sebagai dasar-dasar peribadatan, berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Bahkan, hukum Islam bukan hanya meletakkan dasar hubungan dalam arti yang sempit, tetapi mencakup segala aspek hidup dan kehidupan yang ada.
Hukum Islam menjunjung tinggi huquq al-insaniyyah tanpa mengenal diskriminasi agama, warna kulit, dan kebangsaan. Selain itu, hukum Islam juga mengakui hak milik pribadi, namun melarang menumpuk kekayaan, merampas, dan eksploitasi. Dengan kata lain, hukum Islam mengakui hak milik perorangan, tetapi kepentingan sosial tidak boleh diabaikan.
Dalam skop yang lebih luas, hukum Islam menyeru agar seluruh umat manusia yang berlainan asal dan kebangsaan, warna kulit dan agamanya, menegakkan persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga humanisme benar-benar terwujud dalam kehidupan umat manusia.
Itulah sebabnya sehingga hukum Islam mengatur hubungan antara bangsa dan negara, baik di waktu damai maupun di waktu perang. Bahkan, sampai pada mendirikan badan internasional yang bertugas untuk menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara mereka. Apabila ada bangsa dan negara yang tidak mau tunduk, maka dengan kekuatan badan itu dapat memaksa menyelesaikan pertikaian-pertikaian yang terjadi, demi tergaknya kebenaran dan terjaminnya keadilan.
Prinsip-prinsip hukum Islam mengenai hukum internasional, lebih menekankan kepada nilai-nilai moral dan etika, karena tuntutan rasa kesadaran tunduk kepada norma-norma agama, sebab akhlaq al-karimah dijadikan sebagai landasan utama bagi tegaknya hukum Islam. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip hukum Islam yang terkait dengan hubungan internasional.
1. Etika Berperang
Perang dalam Islam adalah perang pertahanan, yang bertujuan untuk menolak serangan dan pengamanan pelaksanaan dakwah. Perang harus berhenti jika maksud yang dituju telah tercapai. Apabila serangan musuh telah berhenti dan mereka cenderung kepada perdamaian, maka kaum muslimin harus menerima perdamaian tersebut, baik dalam bentuk gencatan senjata atau dalam bentuk pembuatan perjanjian.
Apabila peperangan sedang berlangsung, para prajurit tidak dibolehkan membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang tua. Selain itu, tidak dibenarkan mencincang mayat-mayat musuh, malah wajib menutup auratnya. Ketika perang telah usai, maka semua mayat wajib dikuburkan sebagai penghormatan kemanusiaan.
2. Tawanan Perang
Mengenai tawanan perang, Islam menempuh dua alternatif, yaitu membebaskan dengan tubusan atau membebaskan tanpa tebusan. Alternatif pertama diperlakukan oleh Rasulullah ketika terjadi Perang Badar, sedangkan alternatif kedua diperlakukan oleh Rasulullah ketika terjadi fathu Makkah.
3. Perjanjian Perdamaian
Dalam Islam, perjanjian disebut dengan al-‘ahd, al-mu’ahadah, atau al-hudnah. Materi perjanjian tidak boleh memuat hal-hal yang terlarang atau menghalalkan yang haram. Apabila perjanjian telah disepakati, maka kedua belah pihak tidak boleh melakukan kecurangan, penipuan, atau memutarbalikkan isi perjanjian. Contoh perjanjian yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah adalah Piagam Madinah dan Perjanjian Hudaibiyah.
4. Penyeleaian Sengketa
Islam menetapkan bahwa jika terjadi sengketa di antara dua golongan, maka harus dilakukan ishlah (perdamaian). Proses perdamaian itu bisa dilakukan dalam bentuk perundingan, penengahan, atau arbitrase.
Jika kedua belah pihak mematuhi hasil kesepakatan bersama, maka selesailah persoalan. Akan
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
R. Subekti, et al., Kamus Hukum, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1972. J. G. Starke, Introduction to International Law, diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja dengan judul Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1992. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984/1985. Abdullahi Ahmed An-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, diterjemahkan oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dengan judul Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sivil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKIS bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 1994. S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Environmental Systems Engineering, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin dengan judul Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Bandung: Pustaka, 1980. Abu al-A’la al-Maududiy, Wahdah al-Umam al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Dian dengan judul Prinsip Kesatuan Umat Islam Jakarta: al-Hidayah, t.th. Ali Ali Mansur, al-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qanun al-Duwaliy al-‘Am, diterjemahkan oleh Muhammad Zein Hassan dengan judul Syari’at Islam dan Hukum Internasional Umum, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar