Skip to main content

Kaidah-kaidah dalam Taraduf

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 20, 2011

Di dalam kitab “Mukhtasar fî Qawā‘id al-Tafsīr” karya Khalid bin ‘Usman, disebutkan tiga macam kaidah yang berkenaan dengan lafaz taraduf, yaitu:
Kaidah Pertama:
مهما أمكن حمل ألفاظ القرأن على عدم الترادف فهو المطلوب
Artinya: Selama makna lafaz-lafaz Al-Qur’an memungkinkan untuk menghindari taraduf, maka itulah yang diutamakan.
Menurut pendapat Abū Hilāl al-‘Askarī, sebagaimana yang dikutip oleh Khalid bin ‘Usman, bahwa setiap perbedaan ungkapan dan isim mengharuskan perbedaan pada maknanya pula, karena setiap isim menunjuk kepada sesuatu yang diisyaratkan. Olehnya itu, ketika sudah diisyaratkan satu kali, maka tidak akan ditemukan lagi pada isyarat yang kedua dan ketiga sesuatu yang tidak bermanfaat. Karena apa yang diisyaratkan pada yang kedua dan ketiga masing-masing berbeda dengan apa yang disyaratkan pada lafaz pertama yang telah disebutkan.
Khalid bin ‘Usman menegaskan bahwa:
اذا كان اختلاف الحركات يوجب اختلاف المعاني. فاءختلاف المعاني أنفسها أولى أن يكون كذالك
Artinya: Apabila terjadi perbedaan harakat, maka barakibat pula pada perbedaan makna. Maka pada prinsipnya perbedaan makna diutamakan untuk menjadikannya demikian.
Apabila pernyataan di atas dibawa ke dalam konteks logika, maka dapat diteruskan pernyataan tersebut sebagai berikut “apabila perbedaan harakat saja berakibat pada perbedaan makna, maka terlebih lagi dengan perbedaan lafaz atau berbilangnya lafaz”. Olehnya itu, seperti yang dikemukakan sebelumnya, makna taradūf tersebut tidak dapat diterima apabila dimaknai sebagai makna yang sempurna (takmīlī). taraduf hanya mencakup makna aslinya.
Kaidah Kedua:
قد يختلف اللفظان المعبر بهما عن الشيء الواحد فيستملح ذكرهما على وجه التأكيد
Artinya: Terkadang perbedaan dua lafaz menerangkan sesuatu yang sama, maka sebaiknya keduanya disebutkan dengan cara memberikan ta’kid.
Keberadaan kaidah taraduf yang kedua ini sering digunakan dalam berbagai kalimat (al-kalām) bahasa Arab. Di dalam al-Quran pun dapat kita temukan. seperti ungkapan haram dan haraj, halal dan tayyib.
Pembahasan kaidah kedua ini meliputi ta’kīd dan ziyādah. Hal ini terjadi karena setiap lafaz yang di-takhsīs dengan makna tambahan atas apa yang terdapat pada lafaz sesudahnya. Di samping itu, di dalam kaidah ini juga didapatkan hasil yang diperoleh dari penggabungan dua mutarādif.
Kaidah Ketiga:
ألمعنى الحا صل من مجموع المترادفين لا يوجد عند انفراد أحدهما
Artinya: Makna yang dihasilkan dari penggabungan dua mutarādif, tidak didapatkan ketika salah satu dari keduanya berdiri sendiri.
Kaidah ini berkenaan dengan penjelasan yang mengulang sesuatu lewat ‘athaf terhadap salah satu dari dua mutarādif terhadap yang terakhir. Dan apabila banyaknya huruf berpengaruh pada pertambahan makna, maka yang demikian itu menunjukkan berbilangnya lafaz.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Perbagi Persoalan Umat, (Jakarta: Mizan, 2003). Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, t.c; t.p: J. (ART, 2005). Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006). M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi; Asmā’ al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, (Ciputat: Lentera Hati, 2001).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar