Skip to main content

Biografi Imam al-Syafi'iy

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 16, 2011

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn al-Syafi’iy ibn al-Sa`ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn al-Mualib ibn ‘Abd Manaf. Ini menunjukkan bahwa dalam garis keturunannya, tercatat nasabnya bertemu dengan kakek Rasulullah, ‘Abdi Manaf.
Al-Syafi’iy dilahirkan dalam keluarga Arab (dari suku Quraisy) yang miskin di wilayah Gazza, Palestina, pada tahun 150 H (767 M). Ayahnya meninggal pada waktu ia masih berusia 2 tahun. Dalam keadaan demikian, ibunya membawa ia ke Mekah dan menetap di sana hingga berumur dewasa.
Pada usia 9 tahun, al-Syafi’iy telah menghafal al-Quran dan sejumlah hadis. Sebagai langkah awal dalam mengkaji al-Quran dan Hadis Nabi, terlebih dahulu ia memperdalam bahasa Arab dengan mendatangi perkampungan kabilah Huzail, sebuah perkampungan di luar kota Mekah. Kabilah tersebut terkenal ahli dalam tata bahasa dan sastera Arab. Setelah pengetahuan bahasanya cukup, ia kembali ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agamanya dengan mendatangi beberapa ulama yang terkenal, antara lain Muslim ibn Khalid al-Zanji dan Sufyan ibn ‘Uyainah.
Pada usia 15 tahun, al-Syafi’iy sudah diberi wewenang oleh guru-gurunya untuk memberikan fatwa, bahkan ia diangkat sebagai wakil mufti Mekah. Pada usia 20 tahun, ia menuju Madinah dengan mendapat rekomendasi dari Muslim ibn Khalid untuk belajar pada Imam Malik. Dengan kecemerlangan otaknya, Imam Malik mengangkatnya sebagai wakil untuk mengajar di majlisnya.
Ketika mendengar informasi bahwa di Bagdad terdapat dua ulama besar, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad ibn hasan (murid dari Abu hanifah), maka timbullah keinginan al-Syafi’iy untuk menimba ilmu darinya. Atas persetujuan dan biaya dari Imam Malik, berangkatlah ia menemui kedua ulama tersebut.
Setelah mapan dalam mempelajari fikih mazhab hanafi di Bagdad, al-Syafi’iy melakukan lawatan ke Persia dan Palestina. Di sana ia mengajarkan kitab al-Muwathta`. Setelah itu, ia kembali ke Madinah dan membantu Imam Malik mengajar.
Ketika Imam Malik meninggal pada tahun 179 H, al-Syafi'iy tidak lagi mempunyai tempat bergantung dalam bidang ekonomi. Akibatnya, dengan terpaksa ia menerima tawaran Wali Yaman untuk diangkat menjadi sekretaris. Ketika itu, ia berusia 29 tahun. Dengan kedudukannya itu, bertambahlah beban yang diembannya.
Ketika muncul gerakan Syi’ah di Yaman sebagai musuh bebuyutan Khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu, al-Syafi’iy ditangkap karena dituduh terlibat dalam gerakan tersebut. Atas bantuan Muhammad ibn hasan, ia selamat dari hukuman mati.
Setelah meninggalkan jabatannya sebagai sekretais Wali Yaman, al-Syafi’iy kembali ke dunia ilmiah dan melakukan diskusi-diskusi bersama para ulama, baik yang ada di Mekah maupun di Bagdad. Pada saat inilah Ahmad ibn hanbal datang berguru kepadanya.
Pada tahun 198 H, Khalifah al-Ma’ma’mun memberhentikan Muthtalib sebagai gubernur Mesir dan mengangkat ‘Abbas ibn Musa sebagai penggantinya. Pada saat itulah al-Syafi’iy meninggalkan Bagdad dan ikut bersama dengan ‘Abbas ke Mesir. Di Mesir ia menetap selama 6 tahun hingga ia wafat pada tahun 204 H (822 M).
Imam al-Syafi’iy sebagai Mujtahid
Dari perjalanan hidup al-Syafi’iy ditemukan bahwa ada dua pola pikir yang sangat mempengaruhinya, yaitu pemikiran Imam Malik dan Ab­u hanifah. Dua pola pikir ini sangat bertentangan, sebab Imam Malik dikenal sebagai faqih yang tradisionalis, sedangkan Abu hanifah digelar sebagai faqih yang rasionalis. Dari hasil perpaduan kedua pola pikir ini, ia membangun mazhabnya dalam bentuk sintesis antara keduanya. Itulah sebabnya sehingga ia dikenal sebagai faqih yang moderat.
Selain faktor di atas, faktor lain yang membuat al-Syafi’iy berpikir moderat dan elastis adalah situasi dan kondisi sosial di mana ia berada. Dalam sejarah hidupnya juga ditemukan bahwa ia lama menetap di Madinah, suatu daerah yang kebudayaannya sangat sederhana. Ketika ia pindah ke Bagdad, ia menemukan kebudayaan yang cukup maju, karena Bagdad adalah pusat pemerintahan Islam saat itu. Bahkan, ketika ia pindah ke Mesir, ia menemukan pluralitas budaya yang lebih kompleks, sebab di Mesir terjadi peleburan antara budaya lokal (kebudayaan Mesir Kuno sebagai peninggalan dari Fir’aun), budaya Yunani dan budaya Islam.
Berangkat dari fenomena di atas, al-Syafi’iy dalam menyusun pemikiran dan mengeluarkan fatwa, selalu terjadi perubahan. Oleh karena itu, terkenal dua fatwa yang kontroversial darinya, yaitu qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Fatwanya yang pertama termuat dalam kitabnya al-hujjah, yang ia cetuskan ketika masih tinggal di Bagdad. Adapun fatwanya yang kedua terdapat dalam kitabnya al-Umm, yang ia tulis ketika menetap di Mesir.
Selain dua kitabnya yang disebutkan di atas, al-Syafi’iy mempunyai karya lain, misalnya al-Risalah, Ikhtilaf al-adil dan al-Musnad. Yang pertama berisi ushul al-fiqh, kedua berisi hadis-hadis yang kontroversial, dan ketiga berisi hadis-hadis yang ia terima, lengkap dengan sanad-nya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abd aRahman al-Syarqawi, Aimmah al-Fiqh al-Sab’ah, (Bairut: Dar al-‘Ashr al-Hadilah, 1986). Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu, 1997). Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaarin, (Jakarta: Erlangga, 1991). Ahmad al-Syarbasi, al-Aimmah al-Arba’ah, diterjemahkan oleh Sabil Hudan dan A. Ahmadi dengan judul “Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab”, (Jakarta: PT.Bumi Aksara, 1993). Faruq Abu Zaid, al-Syari’ah al-Islamiyyah bain al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin, (Mesir: Dar al-Mauqif, tth). M.Atho Mudzhar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam”, dalam Mimbar Hukum, (Jakarta: al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1991).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar