Skip to main content

Emotional Intelligence/ EQ Menurut Daniel Goleman

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 21, 2013

Kata yang selalu merujuk dalam pembahasan ini adalah emosi, istilah yang makna tepatnya masih membingungkan baik para ahli psikologi maupun ahli filsafat selama lebih dari sau abad.

Dalam makna paling harfiah, oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Saya menganggap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi, dan nuansanya.

Sungguh, terdapat lebih banyak penghalusan emosi daripada kata yang kita miliki untuk itu. “Kecerdasan emosi” atau Emotional Intelligence merujuk kepada kemampuan menganali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam ketrampilan kecerdasan emosi. (Goleman, 2003: 512)

Dua macam kecerdasan yang berbeda ini—intelektual dan emosi—mengungkapkan aktivitas bagian-bagian yang berbeda dalam otak. Kecerdasan intelektual terutama didasarkan pada kerja neokorteks, lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak. Sedangkan pusat-pusat emosi berada di bagian otak yang lebih dalam, dalam subkorteks yang secara evolusi lebih kuno; kecerdasan emosi dipengaruhi oleh kerja pusat-pusat emosi ini, tetapi dalam keselarasan dengan kerja pusat-pusat intelektual.

Semua emosi pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya emosi memancing tindakan, tampak jelas bila kita mengamati binatang atau anak-anak; hanya pada orang-orang dewasa yang “beradab” kita begitu sering menemukan perkecualian besar dalam dunia makhluk hidup, emosi—akar dorongan untuk bertindak—terpisah dari reaksi-reaksi yang tampak di mata.

Emotional Intelligence/ EQ (Kecerdasan Emosional) menurut Goleman, adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh yang manusiawi.

Menurut organisasi leadership non profit (6 seconds), Emotional Intelligence is the capacity to create positive outcomes in your relationship with yourself and with others. Positive outcomes include joy, optimism, and success at work, school, and life.

Daniel Goleman berpendapat bahwa IQ dan EQ merupakan dua sahabat yang saling melengkapi, namun memiliki perbedaan. IQ tidak berubah sepanjang waktu, IQ pada saat masuk sekolah sampai dengan IQ pada saat lulus tidak akan mengalami perubahan. EQ berubah sejalan dengan pengalaman dan keinginan belajar. Ibaratnya tanpa EQ, IQ hanya merupakan pengetahuan tanpa tenaga dan gairah.

Daniel Goleman dalam bukunya Workking With Emotional Intelligence menjelaskan bahwa ada beberapa konsepsi keliru yang lazim tentang kecerdasan emosional, yaitu :

Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan “sikap ramah”, melainkan, misalnya, sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari.

Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada parasaan untuk berkuasa—“memanjakan perasaan”—melainkan mengelola perasaan sedemikian sehingga terekspresi secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan baik. Begitu pula, wanita tidak “lebih hebat” daripada pria dalam hal kecerdasan emosi, pria pun tidak lebih hebat daripada wanita.

Kita masing-masing mempunyai profil pribadi mengenai kekuatan dan kelemahan dalam kemampuan ini: kita mungkin hebat dalam berempati, tetapi mempunyai beberapa kekurangan dalam hal mengenai kesedihan diri sendiri, atau kita mungkin peka sekali terhadap perubahan sekecil apa pun dalam suasana hati kita, tetapi kurang luwes dalam pergaulan.

Memang benar bahwasannya pria dan wanita sebagai kelompok cenderug sama-sama mempunyai profil khas gender dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Sebuah analisis tentang kecerdasan emosi terhadap ribuan pria dan wanita menemukan bahwa wanita, rata-rata, lebih sadar tentang emosi mereka, lebih mudah bersikap empati, dan lebih terampil dalam hubungan antar pribadi.

Pria sebaliknya, lebih percaya diri dan optimis, mudah beradaptasi, dan lebih baik dalam menangani stres. (Bar-On, 1997)

Namun, secara umum, kemiripan di antara kedua kelompok ini jauh lebih banyak ketimbang perbedaan, sebagian pria sama empatiknya dengan kebanyakan wanita yang sangat peka dalam pergaulan, sedangkan sebagian wanita mempunyai kemampuan yang sama dalam menahan stres dengan kebanyakan pria yang tangguh secara emosi, memang secara rata-rata, bila kita melihat peringkat keseluruhan untuk pria dan wanita, kekuatan dan kelemahan saling menghilangkan, sehingga dalam kaitan dengan kecerdasan emosi keseluruhan, perbedaan berdasarkan jenis kelamin tidak ada. (Goleman, 2003: 9)

Referensi Makalah®
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar