Skip to main content

Makna Teks menurut Abu Zayd

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 18, 2013

Dalam membahas masalah makna teks, Abu Zayd membuka kembali diskusi-linguistik klasik tentang kata dan makna (al-Lafzh wa al-Ma'na) atau nama dan yang dinamai (al-Ism wa al-Musamma), di mana hubungan antara keduanya bersifat subbyektif substansial dan niscaya. Hal ini mengimplikasikan kesatuan antara kata dengan makna, atau nama dengan yang dinamai.
Menurut Abu Zayd, hubungan antara kata dan makna adalah seperti hubungan antara jasad dan ruh. Kata bagi makna adalah jasad dan makna bagi kata adalah ruh. Muktazilah secara umum berpendapat bahwa hubungan antara keduanya adalah hubungan analogis, konvensional atau kesepakatan dan terminologis. Kata hanyalah suara dengar atau simbol tulisan, yang mana ia tidaklah bermakna apabila tidak ada makna konvensional. Hal ini ditunjukkan bahwa suara pendengaran atau simbol tulisan dapat berbeda-beda pula, tetapi menunjuk kepada makna yang sama.
Abu Zayd tidak menggunakan istilah kata dan makna tetapi penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda bahasa tidak merujuk pada sesuatu tetapi sebuah efek psikologis yang ditinggalkan suara yang didengar atau simblol yang ditulis. Konsep makna signifikansi Abu Zayd memang diderivikasikan dari argumen Hirsch. Makna adalah makna yang dipresentasikan oleh teks dan signifikansi adalah apa yang muncul dalam hubungan antara makna dan pembaca.
Dengan pemahaman makna seperti ini, ada dua aspek yang perlu menjadi titik tolak yaitu konstruksi teks itu sendiri dan budaya di sisi lain. Maka aspek historisitas teks menjadi titik sentral untuk diperhatikan. Mencabut teks dari historisitasnya berarti mengabaikan historisitas makna ketika teks itu turun, bahasa dan budaya yang melingkupinya. Kalau kita konsisten pada logika ini, maka kehadiran al-Quran pun harus dipahami sebagai teks illahiyah sekaligus berdimensi historis. Hilangnya pemahaman historisitas ini akan mengundang bahaya besar ketika ia dalam melakukan interpretasi dihadapkan pada budaya, sejarah, yang sangat berbeda dengan konteks bahasa, budaya, dan sejarah al-Quran.
Sementara itu dalam tataran interpretasi, digolongkan menjadi 3 level konteks. Pertama, konteks runut pewahyuan, yakni konteks historis kronologis pewahyuan yang berubah karena adanya perubahan. Urutan bacaan surat-surat dan ayat-ayat dalam mushaf al-Qur’an. Kedua, konteks pretensi atau narasi, (perintah, larangan, kisah dll). Ketiga, susunan linguistik yang lebih kompleks dari sekadar gramatikal (pemisahan, pengaitan antara ayat, penghapusan, pengulangan dll).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003). Nasr Hamid Abu Zayd, An-Nash, As-Shulthoh, Al-Haqiqoh. terjm: Teks Otoritas Kebenaran, (Yogyakarta: LkiS, 2003).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar