Skip to main content

Kebebasan Manusia menurut Al Attas

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 19, 2013

Bagi al-Attas, persoalan diciptakannya manusia sebagai hamba dan Khalifah Allah swt di muka bumi, telah lama tuntas pada waktu sebelum perpisahan (Time of Pre Separation), tepatnya ketika Tuhan mengumumkan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan Khalifah di muka bumi. Sebagai Khalifah, manusia tidak hanya diberi kekuasaan pengaturan pada hal-hal yang bersifat material dan aspek-aspek sosiopolitik, lebih penting lagi kekuasaan itu mencakup pengaturan terhadap dirinya sendiri dalam rangka menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman.
Dalam konteks bahwa manusia mempunyai kebebasan, al-Attas menyatakan bahwa ketika manusia mengambil atau memilih untuk menerima amanah itu, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa setiap jiwa memiliki kebebasan memilih yang sebaliknya. Artinya setiap orang sudah menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut. Al Attas menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi pada saat itu.
Kebebasan merupakan syarat mutlak untuk pengembangan potensi fitrah manusia serta kemampuannya untuk berinteraksi dengan lingkungan. Sebagaimana dikutip Chabib Thoha, Iqbal dalam sebuah sajaknya tentang kebebasan menggambarkan bahwa kehidupan seperti aliran air, dan pendidikan adalah proses mengalirkan debit air yang bersumber dari kesadaran individualisme manusia sendiri.
Konsep kebebasan manusia al-Attas berbeda dengan para pemikir Islam modernis, seperti pendapat Lutfi Sayyid (salah seorang murid Muhhammad Abduh). Al Attas menjelaskan bahwa pencarian manusia akan kehidupan beragama yang benar hanya akan dapat ditemukan dengan cara kembali kepada fitrah yang asal, karena baginya keinginan dan pengetahuan mengenai penyerahan diri kepada Tuhanlah yang sebenarnya di sebut dengan kebebasan manusia sejati.
Menurut Al Attas, istilah yang tepat untuk perkataan kebebasan dalam Islam terkandung dalam salah satu istilah teologis, ikhtiar. Ikhtiar sebagaimana yang dipakai dalam teologi Islam, tidak sama dengan ide modern mengenai kebebasan, sebab akar kata ikhtiar adalah khair atau baik, yang berarti “memilih sesuatu yang terbaik”.
Walaupun manusia diberi kemampuan untuk mengikuti atau menolak perintah Allah swt yang termaktub dalam hukum agama (syariat), manusia tetap tidak bisa menolak kehendak Allah swt. Al Attas menilai bahwa kebebasan sejati hanya bisa dicapai ketika manusia telah memperoleh illuminasi spiritual atau gnosis (ma’rifah), yaitu ketika ia berhasil mengesampingkan hawa nafsunya untuk memperoleh jati diri yang lebih tinggi. Bahkan pada tahap ini pun, ia masih terikat dengan kewajiban untuk menghambakan diri kepada Tuhan.
Dari pemaparan Al Attas tentang Kebebasan manusianya, tentunya berkaitan dengan perbincangan metafisika Islam. Namun, Al Attas tetap memberikan ruang di tengah keterbatasan sebagai hamba dan sekaligus Khalifah yaitu pertama, potensi primordial manusia harus tetap diolah dalam proses pendidikan yang lebih efektif dan kreatif. Kedua kemampuan atau ketidakmampuan yang dimiliki manusia dapat diperbaiki dalam proses pendidikan yang lebih efektif dan kreatif.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Pendidikan Islam dan Dakwah, (Yogjakarta; Sipress), 1993). Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung; Mizan), 1996). Djamaludin Darwis, Manusia menurut pandangan Al Qur’an, dalam Chabib Thoha,Fatah Syukur, Priyono (penyunting), Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Bekerjasama Pustaka Pelajar, 1996). Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar