Skip to main content

Diskursus tentang Akal dalam Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 20, 2013

Diskursus tentang akal dalam ajaran Islam, berawal dari kedudukan akal yang tinggi dan banyak dipakai bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan semata, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika dikatakan Islam sebagai agama rasional.
Akan tetapi, menurut Harun Nasution, pemakaian kata rasional terhadap Islam perlu ditegaskan ulang. Kerasionalan Islam bukannya kemudian percaya kepada rasio semata-semata dan meninggalkan wahyu atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu. Karena dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang filsafat ataupun ilmu kalam, akal tetap tunduk pada wahyu, dan dipakai hanya untuk memahami teks-teks suci tersebut.
Banyak yang mengklaim bahwasanya kalangan filosof Islam dan kaum Muktazilah cenderung mengedepankan akal dari pada wahyu. Bagi Harun Nasution, pendapat tersebut tidak beralasan. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukanlah akal dengan wahyu, melainkan penafsiran terhadap teks wahyu. Sehingga bila kelihatan penafsiran yang jauh dari arti tekstual wahyu, dengan penekanan pada arti metaforis, maka dianggap telah menolak wahyu.
Salah seorang tokoh yang terkenal diantaranya adalah Abul Hasan Ahmad Ibnu Yahya Ibnu Ishaq al-Rawandiy (lahir 825 M), berpendapat bahwa akal-lah satu-satunya jalan untuk memperoleh pengetahuan, yang menentukan baik dan buruk serta yang menjadi kriteria segala-galanya. Akal pulalah yang menguji keperluan datangnya rasul. Ajaran-ajaran yang dibawa rasul tak boleh tidak harus sesuai dengan akal. Akan tetapi, kalau sesuai dengan akal maka datangnya rasul tak ada gunanya. Dan kalau tidak sesuai, maka kerasulan yang membawa ajaran itu tidak benar.
Tokoh lainnya adalah Muhammad Ibnu Zakariyya al-Razi (865-925 M), berpendapat bahwa akal dapat mengetahui dan bisa menentukan segalanya, sehingga wahyu tidak diperlukan lagi. al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan, yaitu:
Pertama, akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan akal, manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi.
Kedua, tidak ada pembenaran untuk pengistimewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain. Sebab, semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka.
Ketiga, ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan. Tidaklah masuk akal rasul-rasul itu dikirim Tuhan, karena mereka membawa kekacauan di dunia dan rasa benci serta permusuhan di kalangan bangsa-bangsa.
Kekuatan akal untuk mengetahui, menurut Muhammad Abduh, pada setiap orang mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Perbedaan ini dibagi menjadi dua, yaitu akal khawwash dan akal awwam. Akal khawwash adalah akal yang dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan akal awwam adalah akal yang tidak bisa mencapai seperti apa yang dicapai oleh akal khawwash.
Menurut Ibnu Rusyd, akal dibagi menjadi tiga: Pertama akal demonstratif (burhaniy) yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting serta melahirkan filsafat. Kedua adalah akal logik (manthiqiy) yang sekedar mampu memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga adalah akal retorik (khithabiy) yang mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, karena tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berpikir sistematis.
Sedangkan menurut al-Kindi, akal sebagai daya berpikir manusia dibagi menjadi dua, yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti yang berasal dari materi. Sedangkan akal teoritis, menangkap arti-arti murni, yaitu arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan diri pada alam materi, sedangkan akal teoritis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian pada alam immaterial.
Hampir senada dengan pendapat di atas, Ruhullah Syams membedakan akal sebagai berikut, yaitu:
  1. Akal insting, yaitu akal manusia pada awal penciptaannya, yakni akal yang masih bersifat potensial dalam berpikir dan berargumen.
  2. Akal teoritis, yaitu akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (bersifat ontologis).
  3. Akal praktis, yaitu kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah diperolehnya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Imam Bawani, Segi-Segi Pendidikan Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987). Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1994). Herbert Mercuse, Rasio dan Revolusi; Menyuguhkan Kembali Doktrin Hegel untuk Umum, Terj. Imam Baehaqie, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar