Skip to main content

Diskursus Pendapat Ulama tentang Nasikh

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: April 24, 2013

Abdul Wahab al-Khallaf berpendapat bahwa memang terdapat Nasikh sebelum Rasulullah saw wafat. Namun setelah wafat, tidak ada lagi Nasikh itu. Suyuti lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh. Muhammad bin Abdullah az-Zarkasiy dan az-Zarqaniy, cenderung menolak nasikh. Sedangkan jumhur ulama menyetujui adanya naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai me-Nasikh al-Quran dengan sesama al-Quran, hal ada tiga, sebagaimana keterangan di masa atas, apalagi dengan persoalan me-Nasikh al-Quran dengan al-Hadis. Kebanyakan ulama atau yang umum dikenal dengan sebutan Jumhur, berpendirian bahwa me-Nasikh sebagian ayat al-Quran dengan sebagian yang lain hukumnya boleh bahkan diantara mereka ada yang tidak keberatan untuk menasakh al-Quran dengan al-Hadis.
Selain alasan-alasan tersebut, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran, secara implisit, memang mengandung konsep nasikh. Oleh karena itu, jika seorang ingin menafsirkan al-Quran, maka ia harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh
Diskursus nasikh sudah ada bersama dengan munculnya keinginan umat Islam mempelajari al-Quran secara mendalam sejak periode sahabat hingga sekarang. Bersamaan dengan munculnya diskursus nasikh ini, terdapat perbedaan tentang terminologi nasikh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh sehingga mencakup:
  1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan kemudian
  2. Pengecualian hukum yang bersifat oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian
  3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar
  4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat
Perbedaan pendapat dikalangan ulama sulit untuk dihindarkan, baik dari peristilahan hingga hakikat naskh sendiri dalam al-Quran. Bahkan diantara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah disaat kaum muslimin lemah, dianggap telah di-Nasikh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan dari pengertian nasikh.
Secara garis besar, ada dua kelompok pendapat yang membicarakan Naskh ini; pertama kelompok yang setuju (pro) kedua kelompok-kelompok yang tidak setuju (kontra), yang dipelopori oleh Abu Muslim al-Isfahaniy.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011). M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 1992). Abdul Azim az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran, (Al-Halabiy, Mesir, 1980). Badr al-Din Muhammad bin Abdillah az-Zarkazyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, (Dar al-Fikr, 1988). Manna al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (Singapura, Haramain, t.th).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar